Setitik demi setitik lalu mewujud
Menjadi garis dalam ruang dan waktu
Padunya pandangan penilaian, ledakan tutur dan lelaku
Tak lagi hanya berfatamorgana, berimajinasi, apalagi berintuisi belaka
Di kala menjawab realitas hidup dalam kehidupan
Yang dimaui Tuhan Sang Pencipta Maha Segala
Bukankah potret ketimpangan 'tlah nyata kasat mata di keseluruhan sendi kehidupan ini?
Masihkah dinafikan dan dipungkirikah, kawan?
Menapak, merenda setapak demi setapak, serajut demi serajut
Menuju lajur garis shirathal mustaqim
Dan, bilakah itu semua, kawan?
*****
Kota Malang, Februari di hari kesembilan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H