Mohon tunggu...
Subulu salam
Subulu salam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional - Universitas Islam Indonesia

Ibadah, Menulis, Bercerita, Foto

Selanjutnya

Tutup

Financial

Efektivitas Boikot: Sosial, Politik, dan Ekonomi

26 Desember 2023   20:26 Diperbarui: 26 Desember 2023   20:42 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boikot jika diambil maknanya dari KBBI, berarti bersekongkol menolak untuk bekerja sama dalam berurusan dagang, berbicara, ikut serta dan sebagainya. Sejarah asal kata boikot merupakan kata serapan berasal dari nama Charles C. Boycott yang merupakan seorang agen tanah inggris seorang agen lahan. Fenomena boikot bukanlah hal baru, boikot juga banyak terjadi sejak zaman kerajaan kuno, dengan tujuan sekedar untuk menekan rival atau musuh negara yang memaksa mereka menyerah dengan keadaan. Boikot atau embargo sempat dialami oleh Nabi dan para sahabat yang dilakukan oleh kaum Quraisy, embargo yang dilakukan merupakan pakta yang diletakkan di dalam ka'bah yang isinya memaksa untuk meninggalkan rumah dan menetap di area yang sempit, juga termasuk dengan embargo ekonomi dan embargo sosial, dan hal ini berjalan selama 3 tahun, karena kesabaran Nabi dan para sahabatnya, mereka berhasil melewati embargo.

Boikot juga tak terlepas kolonisasi dan dekolonisasi setelah perang dunia kedua, contohnya serikat pekerja di Australia memboikot ratusan kapal belanda yang dikenal dengan istilah Armada Hitam, tujuan dari kapal Belanda yang hendak membawa logistik militer ke Indonesia. Boikot yang dilakukan serikat pekerja Australia merupakan salah satu bukti dukungan atas kemerdekaan Indonesia. Dari hal ini tidak selamanya boikot dikonotasikan sesuatu negatif, tergantung dengan tujuan dari boikot tersebut, dan dari sisi pandang.

Sekelompok masyarakat atau individu terhadap suatu entitas, atas dasar kerelaan biasanya dalam bentuk perusahaan, produk, atau individu, sebagai bentuk protes atau ketidaksetujuan terhadap praktik, kebijakan, atau perilaku tertentu, disebut dengan boikot sosial. Kerelaan boikot sosial lazimnya berdasar atas kemanusiaan, contoh nyatanya adalah perang antara Palestina dengan Israel,  dan masyarakat akan berbondong-bondong turut memboikot atas dasar asumsi mereka dengan melihat Palestina sebagai korban. Boikot sosial contohnya juga terjadi seperti penolakan, dan persatuan dengan memojokkan suatu entitas tertentu, salah satunya adalah Israel sebagai pelaku, dan sebab perang. Boikot sosial sangat berdampak, dan efektif tergantung pada dukungan masyarakat, tujuan yang jelas, dan konsistensi dalam penerapannya.

Selanjutnya pada boikot ekonomi, boikot ini merupakan yang terbanyak pengaplikasiannya pada kasus-kasus boikot yang terjadi, boikot ekonomi pada dasarnya merupakan penolakan untuk melakukan hubungan komersial atau sosial dengan siapa pun yang dikehendaki, yang bertujuan untuk berubahnya kebijakan yang menjadi sasaran boikot, contoh yang terjadi dewasa ini merupakan seruan boikot dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas produk-produk yang terafiliasi dengan Israel atau pro Israel, seperti Mcd, Aqua, Coca Cola dsb. Boikot produk pro Israel juga didukung dengan gelombang boikot seluruh dunia. Dampaknya banyak perusahaan bangkrut dan merubah pola arah.

Selain sosial dan ekonomi, boikot politik juga efektif dan contohnya banyak dilakukan oleh sejarah, salah satunya saat ini seruan boycot israel menyebar seluruh penjuru, terkhusus pada negara yang masyarakatnya merupakan mayoritas muslim, yang menyerukan seperti memulangkan duta besar Israel dari negaranya. Juga contoh lain dari boikot politik adalah bentuk abstain atau tidak mengikuti dalam pemilihan umum (pemilu), hal ini pernah terjadi terhadap penurunan perolehan suara partai Biju Janata Dal pada pemilihan umum India tahun 2019, yang saat itu merupakan pengaruh dari gerakan no water no votes. Contoh lainya terjadi di Madagaskar, yang berasal dari seruan enam calon presiden terkait rencana boikot pemilihan umum. Boikot politik dapat menjadi alat yang kuat untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan mempengaruhi perubahan.

Boikot memiliki dimensi yang bersifat objektif dan berbasis pada analisis situasional. Dalam konteks sejarah, boikot telah digunakan sebagai alat politik yang kuat untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan memengaruhi kebijakan. Namun, efektivitas boikot tidak selalu terjamin. Contohnya, boikot yang diusulkan terhadap beberapa negara atau perusahaan dapat menimbulkan konsekuensi yang kompleks, terutama dalam konteks globalisasi. Pengaruh ekonomi yang terkait dengan boikot dapat mempengaruhi banyak pihak, termasuk warga biasa yang mungkin bergantung pada pekerjaan atau layanan dari perusahaan yang menjadi target.

Dalam beberapa kasus, boikot juga dapat dianggap sebagai alat yang terlalu drastis, terutama jika tujuan yang ingin dicapai dapat dicapai melalui dialog atau mekanisme politik lainnya. Dalam konteks seperti itu, solusi yang lebih efektif mungkin melibatkan diplomasi, negosiasi, atau upaya advokasi yang lebih canggih. Penting untuk mencatat bahwa boikot dapat memiliki dampak jangka pendek dan panjang yang kompleks, dan keberhasilannya sangat tergantung pada dukungan masyarakat, kejelasan tujuan, serta respons dari pihak yang menjadi target. Maka semestinya, mendorong analisis yang cermat terhadap konteks spesifik sebelum memutuskan apakah boikot merupakan strategi yang paling tepat dalam suatu situasi politik tertentu.

Efektivitas boikot saat ini sangat tergantung pada konteks dan situasi yang dihadapi. Boikot dapat mencapai tingkat keberhasilan yang bervariasi tergantung pada sejumlah faktor, baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun sosial. Boikot ekonomi, misalnya, dapat memberikan dampak yang signifikan jika mendapatkan dukungan massa dan memengaruhi keseimbangan ekonomi suatu entitas, seperti penurunan penjualan atau investasi yang dapat mendorong perubahan kebijakan atau perilaku. Boikot politik juga dapat memberikan tekanan yang cukup untuk menciptakan perubahan dalam dinamika politik dan kebijakan. Selain itu, dampak sosial dan budaya dari boikot sosial dapat menciptakan kesadaran dan perubahan perilaku konsumen. Meskipun begitu, keberhasilan boikot tidak selalu dijamin, karena efektivitasnya tergantung pada dukungan massa, kejelasan tujuan, ketahanan, dan respons dari pihak yang menjadi target. Opsi selain boikot, seperti dialog terbuka, kampanye pendidikan, dan partisipasi aktif dalam proses politik, juga menjadi penting dalam mencapai perubahan yang berkelanjutan. Pendekatan yang bijaksana dan holistik, yang menggabungkan berbagai strategi, dapat menjadi kunci untuk mengatasi isu-isu kompleks dalam masyarakat saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun