Mohon tunggu...
Subki RAZ
Subki RAZ Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang Blogger yang sehari-hari ngajar anak bangsa menjadi anak yang cinta fisika dan teknologi . Teknologi yang membawa manfaat bukan mudarat. Cerita sekolahnya mirip Laskar Pelangi. Sekolah dari NOL hingga melek internet. Senang menyimak berita Politik, pendidikan, dan teknologi. \r\n\r\nblog: www.subkioke.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ide Penyatuan Zona Waktu Indonesia, Sebuah Bukti Kekerdilan Bangsa

12 Maret 2012   15:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 2629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_176083" align="aligncenter" width="475" caption="zona waktu Indonesia, merah = WIB, kuning = WITA, hijau = WIT"][/caption] "Pemerintah berencana menyatukan zona waktu dari semula tiga (WIB, WITA, WIT) menjadi satu. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, penyatuan ini akan menghemat keuangan negara dan secara ekonomi mendatangkan keuntungan. "Ada penelitian yang menyatakan penyatuan zona waktu menjadikan pengaturan lebih mudah sehingga bisa memangkas biaya hingga triliunan rupiah," kata Hatta, Minggu, 11 Maret 2012. Dengan penetapan zona waktu tunggal menjadi Greenwich Mean Time (GMT) +8, menurut Hatta, waktu Indonesia akan sama dengan waktu Malaysia dan Singapura. "Kalau zona waktu sama dengan negara-negara tetangga, ada penghematan besar dalam jam kerja, traffic, maupun aktivitas ekonomi," ujar Hatta." (www.tempo.com , 12 Maret 2012). Ide penyatuan itu didasarkan beberapa alasan:

  • penyatuan zona waktu katanya akan berdampak pada penyederhanaan tata kelola di berbagai sektor, termasuk transportasi dan perbankan.
  • Kesamaan waktu dengan Singapura, Malaysia, dan Hong Kong juga membuka kesempatan bisnis baru
  • Keuntungan penyamaan zona dapat pula dirasakan oleh Bursa Efek Indonesia karena tidak lagi menjadi pengikut bursa Singapura.

Demikian alasan yang diutarakan pak Menko Ekoin itu. Para pengusaha pun dikabarkan juga setuju akan ide ini. Tapi sesederhanakah itukah alasannya? Menurut Thomas Djamaluddin, Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan Antariksa (Lapan),  satu zona waktu justru berpotensi inefisiensi jam kerja. Djamal menjelaskan, inefisiensi terutama untuk komunikasi dinas atau bisnis. Sebab, di Indonesia yang mayoritas muslim ada faktor salat lima waktu yang harus dipertimbangkan. Kalau kawasan barat mengikuti zona waktu Indonesia bagian tengah, otomatis pekerja di Indonesia bagian barat akan membutuhkan waktu lebih lama untuk istirahat dan ibadah. Thomas mencontohkan, istirahat bagi pekerja di barat yang biasanya pukul 12.00-13.00 WIB akan menjadi 11.00-12.00 WIB atau 12.00-13.00 WITA. Adapun waktu salat Zuhur yang disatukan dengan istirahat tentu belum masuk. Karena istirahat berakhir pukul 12.00 WIB atau 13.00 WITA. "Maka pekerja tentu akan minta tambahan waktu untuk ibadah," ujar dia. Tambahan waktu tentunya bisa membuat komunikasi dinas dan bisnis tertunda. Selain Jamaludin, Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung Moedji Raharto mengakui bahwa penyatuan zona waktu membuat kawasan barat jadi lebih terburu-buru. "Sementara yang di timur Indonesia justru jadi lebih santai," kata dia yang dihubungi terpisah. Perlu Pengkajian Komprehensif Jika ide pak Hatta Radjasa itu jadi diterapkan, tentu saja akan membawa banyak dampak baik secara geografis maupun biologis. Kita ambil contoh, jika di Lombok (WITA) matahari terbit tepat pukul 06.00 , maka di jakarta, pukul 06.00 itu sudah agak siang. Jadi nanti harus ada penyesuaian jam kerja. Tetap saja akan mengikuti posisi matahari seperti sekarang dalam 3 zona waktu. Penyatuan 3 zona waktu menjadi 1 zona juga menunjukkan bahwa negara kita bukanlah negara besar yang harus diakui memiliki panjang 45 derajat bagian bumi (1/8 keliling bumi = 5200 km). Padahal seharusnya yang diatur dalam masalah ekonomi bukanlah penyatuan zona waktu,. Masalah utama ekonomi Indonesia adalah masalah distribusi barang yang tidak merata, tidak terkait dengan perbedaan waktu. Jadi sebelum ide ini akan dilaksanakan, pemerintah harus mengkaji secara integral dan komprehensif terhadap segala dampak yang ditimbulkan. Janganlah hanya dengan alasan ekonomi semata, kemudian mengabaikan dampak non-ekonominya.

13315675821203928996
13315675821203928996
Negara Indonesia sangat panjang. Menurut hitungan Google Earth, panjang Indonesia = 5.339,69 km. Menjadikan Satu zona waktu untuk negara sepanjang ini tentu tidaklah tepat secara geografis. Matahari terbit di papua pukul 07.00 WIT, di Lombok pukul 06.00 wita, dan di Aceh pukul 05.wib. Zona waktu saat ini sudah sesuai dengan perjalanan matahari yang berkisar, terbit pukul 06.00 dan terbenam pukul 18.00 walau ada selisih di beberapa daerah dalam 1 zona. Jika semua daerah akan dijadikan satu zona waktu (menggunakan WITA), maka pukul  06.00 di Lombok tepat matahari baru terbit, sedangkan di Papua pukul 06.00 sudah siang, dan di Aceh pukul 06.00 masih gelap. Indonesia Seharusnya Menjadi Acuan di ASEAN Secara geografis, Indonesia termasuk negara yang besar. Bayangkan saja luasnya seperti Amerika Serikat. Secara Demografis, Indonesia juga adalah negara besar. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta orang. Jumlah itu menempatkan Indonesia pada posisi keempat dalam urutan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar pertama adalah China (1,34 miliar), kedua India (1,18 miliar), dan ketiga Amerika Serikat (310 juta). Melihat potensi sebesar itu, maka sudah selayaknya Indonesia sejajar dengan negara maju Amerika Serikat baik dari segi Sumber Daya Alam (SDA) maupun geografis. Hanya segi Sumber Daya Manusia (SDM) yang perlu ditingkatkan. Sering kita dijadikan pasar MLM dari China dan Malaysia karena banyaknya manusia Indonesia. Negara kecil seperti Singapura dan Malaysia punya visi menjadi negar maju pad 2020, sedangkan Indonesia masih lamban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun