[caption id="attachment_176083" align="aligncenter" width="475" caption="zona waktu Indonesia, merah = WIB, kuning = WITA, hijau = WIT"][/caption] "Pemerintah berencana menyatukan zona waktu dari semula tiga (WIB, WITA, WIT) menjadi satu. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, penyatuan ini akan menghemat keuangan negara dan secara ekonomi mendatangkan keuntungan. "Ada penelitian yang menyatakan penyatuan zona waktu menjadikan pengaturan lebih mudah sehingga bisa memangkas biaya hingga triliunan rupiah," kata Hatta, Minggu, 11 Maret 2012. Dengan penetapan zona waktu tunggal menjadi Greenwich Mean Time (GMT) +8, menurut Hatta, waktu Indonesia akan sama dengan waktu Malaysia dan Singapura. "Kalau zona waktu sama dengan negara-negara tetangga, ada penghematan besar dalam jam kerja, traffic, maupun aktivitas ekonomi," ujar Hatta." (www.tempo.com , 12 Maret 2012). Ide penyatuan itu didasarkan beberapa alasan:
- penyatuan zona waktu katanya akan berdampak pada penyederhanaan tata kelola di berbagai sektor, termasuk transportasi dan perbankan.
- Kesamaan waktu dengan Singapura, Malaysia, dan Hong Kong juga membuka kesempatan bisnis baru
- Keuntungan penyamaan zona dapat pula dirasakan oleh Bursa Efek Indonesia karena tidak lagi menjadi pengikut bursa Singapura.
Demikian alasan yang diutarakan pak Menko Ekoin itu. Para pengusaha pun dikabarkan juga setuju akan ide ini. Tapi sesederhanakah itukah alasannya? Menurut Thomas Djamaluddin, Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan Antariksa (Lapan), satu zona waktu justru berpotensi inefisiensi jam kerja. Djamal menjelaskan, inefisiensi terutama untuk komunikasi dinas atau bisnis. Sebab, di Indonesia yang mayoritas muslim ada faktor salat lima waktu yang harus dipertimbangkan. Kalau kawasan barat mengikuti zona waktu Indonesia bagian tengah, otomatis pekerja di Indonesia bagian barat akan membutuhkan waktu lebih lama untuk istirahat dan ibadah. Thomas mencontohkan, istirahat bagi pekerja di barat yang biasanya pukul 12.00-13.00 WIB akan menjadi 11.00-12.00 WIB atau 12.00-13.00 WITA. Adapun waktu salat Zuhur yang disatukan dengan istirahat tentu belum masuk. Karena istirahat berakhir pukul 12.00 WIB atau 13.00 WITA. "Maka pekerja tentu akan minta tambahan waktu untuk ibadah," ujar dia. Tambahan waktu tentunya bisa membuat komunikasi dinas dan bisnis tertunda. Selain Jamaludin, Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung Moedji Raharto mengakui bahwa penyatuan zona waktu membuat kawasan barat jadi lebih terburu-buru. "Sementara yang di timur Indonesia justru jadi lebih santai," kata dia yang dihubungi terpisah. Perlu Pengkajian Komprehensif Jika ide pak Hatta Radjasa itu jadi diterapkan, tentu saja akan membawa banyak dampak baik secara geografis maupun biologis. Kita ambil contoh, jika di Lombok (WITA) matahari terbit tepat pukul 06.00 , maka di jakarta, pukul 06.00 itu sudah agak siang. Jadi nanti harus ada penyesuaian jam kerja. Tetap saja akan mengikuti posisi matahari seperti sekarang dalam 3 zona waktu. Penyatuan 3 zona waktu menjadi 1 zona juga menunjukkan bahwa negara kita bukanlah negara besar yang harus diakui memiliki panjang 45 derajat bagian bumi (1/8 keliling bumi = 5200 km). Padahal seharusnya yang diatur dalam masalah ekonomi bukanlah penyatuan zona waktu,. Masalah utama ekonomi Indonesia adalah masalah distribusi barang yang tidak merata, tidak terkait dengan perbedaan waktu. Jadi sebelum ide ini akan dilaksanakan, pemerintah harus mengkaji secara integral dan komprehensif terhadap segala dampak yang ditimbulkan. Janganlah hanya dengan alasan ekonomi semata, kemudian mengabaikan dampak non-ekonominya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H