Dua hari lagi tepatnya hari Senin, 16 April 2012, Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan MA dimulai. Kerja estafet Panitia Ujian Nasional (UN) di masing-masing sekolah masih belum berakhir. Setiap sekolah sudah tentu mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi UN yang selalu menjadi momok ini. Sejak awal, Pihak sekolah sudah merancang berbagai macam strategi agar seluruh siswanya lulus 100%. Sejak dini sekolah-sekolah biasanya sudah memberikan pelajaran tambahan atau Les kepada siswa kelas XII. Usaha ini tentu sangat kita apresiasi sebagai langkah seorang "calon petarung" yang akan bertarung di Medan Laga nantinya. Seorang pendekar sudah seharusnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar bisa memenangkan pertandingan pada saat perlombaan.
Namun, yang patut kita sayangkan adalah merebaknya berbagai kasus kecurangan UN baik yang dilakukan oleh pihak sekolah atau pihak tertentu untuk mendongkrak angka kelulusan. Tidak sedikit diberitakan di media massa, bahwa telah terjadi kecurangan, kebocoran soal, dan beredarnya kunci jawaban siluman melalui SMS berantai, dan berbagai bentuk tindakan tidak terpuji lainnya. Maksud hati pemerintah melaksanakan UN sudah sangat mulia. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Tanya Jawab UN 2012 yang dikeluarkan oleh Kemdikbud dan BNSP, ada beberapa alasan dilaksanakannya UN ini, antara lain:
"Hasil UN digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam:
(a) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
(b) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
(c) penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
(d) dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan dan memeratakan mutu pendidikan".
Tetapi niat mulia ini jika tidak didasari dengan pertimbangan dari berbagai segi pasti akan tetap saja menghasilkan tindakan yang cenderung destruktif untuk generasi penerus bangsa. Jika pemerintah tetap saja "ngotot" untuk ikut menentukan kelulusan, maka tindakan-tindakan tidak terpuji itu akan tetap muncul. Tindakan itu bukanlah karena dorongan untuk berbuat buruk di pihak sekolah. Tidak ada seorang guru pun yang akan mau memberikan kunci jawaban kepada siswanya jika guru itu sendiri yang akan menguji dan menilai siswanya. Tindakan-tindakan negatif itu biasanya muncul karena ketidaksiapan sekolah melihat anak didiknya yang sudah dibina selama 3 tahun harus gagal (tidak lulus) hanya gara-gara 6 mata pelajaran yang diujikan. Itu pun hanya 2 jam saja untuk menggantikan masa studi 3 tahun. Lalu ke manakah penilaian proses oleh guru? Ke manakah nilai Psikomotorik dan Afektif yang sudah included dalam Kurikulum KTSP?. Sekalipun sudah 2 tahun ini, kemdiknas/kemdikbud sudah membenahi sistem penilaian dan kelulusan, tetapi tetap saja muncul kekhawatiran di pihak sekolah. Formasi Nilai Akhir UN tahun ini adalah 40% Nilai Sekolah dan 60% Nilai Ujian Nasional. Nilai sekolah sendiri (NS) dihitung dari 40% dari Nilai Rata-rata Raport untuk 6 mata pelajaran yang UN-kan dijumlahkan dengan 60% Nilai Ujian Sekolah (Teori dan Praktik). Kejujuran versus Kelulusan Kantor berita Antara pernah memberitakan sebuah hasil penelitian tentang UN di Gorontalo. Ditemukan bahwa angka Kelulusan Berbanding Terbalik dengan angka Kejujuran. Misalkan angka kelulusan 90%, maka angka kejujurannya adalah 100% - 90% = 10%, begitu pun sebaliknya. Menyimak kasus ini, mungkin saja kejadiannya tidak hanya terjadi di Gorontalo, tetapi sudah merambah ke seluruh pelosok tanah air Indonesia. Pernah pada suatu diskusi saat mengikuti kegiatan Diklat di sebuah propinsi yang Nilai UN-nya tertinggi secara Nasional. Seorang kawan diklat menceritakan, bahwa kalau di propinsi X ini, kepala dinas pendidikannya mengatakan bahwa "UN ini diibaratkan Perang". Pembaca pasti tahu maksudnya. Saat perang (UN) terjadi, maka pihak yang berperang akan cenderung "menghalalkan segala cara" agar menang. Luar biasa bukan? Sulitkah Mencari Formula UN yang tepat? Semasa kurikulum 1987 dan 1994, Ujian Nasional lebih dikenal dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Nilai akhir kemudian dirilis dan dicetak yang saat itu dikenal dengan nama NEM (Nilai Ebtanas Murni). Saat itu jarang terdengar ada kasus kecurangan UN dan banyaknya kunci jawaban yang beredar. Apalagi ada "cara-cara siluman" untuk meluluskan siswanya. Saat itu setiap siswa sangat bangga dengan nilai NEM-nya, karena nilai itu benar-benar mewakili kemampuan sang siswa, tanpa dibantu oleh gurunya, apalagi mengharapkan atau membeli kunci jawaban seperti yang santer beredar seperti sekarang ini. Efek positifnya, semua sekolah di jenjang yang lebih tinggi akan mempercayai angka pada NEM itu, lalu langsung digunakan sebagai syarat seleksi siswa baru. Tidak seperti sekarang ini, hampir semua SMP dan SMA masih menggunakan Tes Tertulis atau dipadukan dengan Nilai SKHUN. Itu artinya, sekolah di level yang lebih tinggi (misalkan SMA/MA) tidak begitu saja percaya pada hasil UN pada level di bawahnya (level SMP/MTs). Karena banyak ditemukan, nilai SKHUN sekolah-sekolah swasta jauh lebih tinggi dari nilai sekolah negeri. Sepertinya pemerintah sekarang (Pihak Kemdikbud) tidak memiliki kajian yang mendalam terhadap pelaksanaan UN ini. Atau boleh jadi Kemdikbud sengaja "tutup mata dan telinga" terhadap banyaknya laporan kecurangan UN. Toh UN ini adalah sebuah proyek miliaran rupiah yang digelontorkan pemerintah dan disetujui oleh DPR. Tahun 2012 ini, biaya UN mencapai 600 miliar rupiah (www.republika.co.id, 12 April 2012). Saran ke Pemerintah Secara pribadi, saya menyarankan agar pemerintah: (1) mengembalikan sistem ujian dan penilaiannya seperti kurikulum lama, menggunakan sistem NEM (Nilai Ebtanas Murni). Istilah boleh saja diganti, misalkan menjadi NUM (Nilai Ujian Nasional Murni). (2) Penentuan Kelulusan dikembalikan kepada sekolah masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H