Mohon tunggu...
Subki RAZ
Subki RAZ Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang Blogger yang sehari-hari ngajar anak bangsa menjadi anak yang cinta fisika dan teknologi . Teknologi yang membawa manfaat bukan mudarat. Cerita sekolahnya mirip Laskar Pelangi. Sekolah dari NOL hingga melek internet. Senang menyimak berita Politik, pendidikan, dan teknologi. \r\n\r\nblog: www.subkioke.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mari berkaca ke Malaysia !

28 Agustus 2010   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:38 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hubungan Indonesi dengan Malaysia menjadi semakin memanas akhir-akhir ini. Memang kasus seperti itu bukan satu atau dua kali.

Tulisan ini tidak melihat dari segi konfliknya, tetapi kita memandang bagaimana Malaysia membangun kepercayaan dirinya.

Tulisan ini merupakan rangkuman atau kesimpulan penulis yang bersumber dari berbagai cerita para TKI/TKW yang sudah lama mengais rejeki di Malaysia.


  • Malaysia berhasil membangun ekonominya menjadi lebih baik. Sehingga orang-orang Indonesia yang berjumlah ribuan bahkan mungkin jutaan hingga hari ini, harus pergi ke Malaysia untuk mencari rezeki. Yang mana jika mereka tetap tinggal di Indonesia, kehidupan mereka akan membuat stress keluarga. Karena alasan ekonomilah, para TKI dan TKW harus rela meninggalkan kampung halaman mereka dan juga keluarga mereka demi menghidupi keluarga di Indonesia. Bahkan dari pengamatan saya, ada beberapa kampung di Lombok 90%, rumah bagus mereka adalah hasil jerih payah mereka sepulang dari Malaysia. Kemudian saya berfikir, "betapa malunya saya jadi presiden, karena rakyat saya mayoritas hidupnya dari negara orang". Jadi Pepatah atau slogan "hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari hujan emas di negeri orang" tidak berlaku buat mereka. Tetap saja segeram emas lebih mahal dan berharga dari satu gram batu. Slogan "cinta tanah air" itu sebatas di buku pelajaran. Toh mereka sepulang dari Malaysia akan menganggur di kampung mereka.
  • Di era tahun 70-an hingga 80-an, pemerintah Malaysia membayar mahal (dengan sistem kontrak) "guru dan dosen" dari Indonesia. Kini, semua sudah berbalik arah. Seorang Mahasiswa Indonesia akan sangat bangga kalau mereka mendapatkan beasiswa ke Malaysia atau Singapura, yang dulu diajar oleh kakek mereka dari Indonesia. Para pelajar berprestasi di Malaysia disekolahkan oleh pemerintah mereka ke luar negeri (Inggris khususnya). Karena Malaysia adalah salah satu negara bekas jajahan Inggris dan kini menjadi negara persemakmuran Inggris (commonwealth). Sehingga mereka tidak lagi menjadi tenaga kasar di Malaysia. Tenaga kasar di pabrik, ladang, atau perkebunan, mayoritas diisi oleh TKI baik yang tidak tamat sekolah SD atau sarjana yang menganggur di Indonesia.
  • HUkum di Malaysia begitu bagus ditegakkan. Sehingga masalah kecil seperti masalah "kadaluarsa barang" segera diselesaikan. Sementara di Indonesia jauh dari itu.
  • Sekalipun Malaysia tidak sebesar Indonesia atau "sehebat" Indonesia. Tetapi mereka tidak mau didikte oleh nagara manapun termasuk oleh Amerika Serikat sekalipun. Betapa Mahatir Muhammad berani memprotes kebijakan "fixed rated" atas dolar amerika, demi menguatkan ringgit mereka. Bagaimana dengan Indonesia, yang konon katanya, gudangnya ahli ekonomi dunia. Bahkan seorang Indonesia bisa masuk menjadi orang hebat di Bank Dunia? Uang rupiah dibiarkan bebas mengambang mengikuti "pasar" seperti maunya sang juragan, Amerika!.


Dan masih banyak hal yang patut kita jadikan cermin ke Malaysia. Masalah ekonomi khususnya. Seharusnya pemerintah Indonesia belajar ke Malaysia bagaimana cara mereka mengelola ekonomi mereka. Sehingga ribuan tenaga kerja dari Indonesia tetap jatuh hati untuk masuk ke Malaysia hingga detik ini. Dengan berbagai cara mereka lakukan agar bisa masuk ke Malaysia. Bahkan mereka tidak peduli dengan cap "pendatang haram" atau "ilegal" atau "budak-budak haram dari Indon". Itu semua mereka lakukan demi menghidupi anak dan istri mereka. Karena Indonesia, yang konon katanya negeri kaya-raya, gemah ripah loh jinawi atau "jamrud khatulistiwa" tidak bisa mereka harapkan untuk tetap bertahan hidup. Maka "hujan batu" dan "hujan emas" pun harus mereka alami di negeri jiran itu. Tragisnya, ada beberapa anggota keluarga saya, harus pulang "peti matinya" dikirim dari Malaysia. Mereka lah sebenarnya yang pantas dijuluki "pahlawan". Karena mereka telah memberikan sumbangan devisa "triliunan rupiah" ke pemerintah Indonesia. Mereka juga kehilangan nyawa demi membangun menara kembar petronas Malaysia.

Seandainya saya jadi presiden Indonesia, dimana saya taruh malu ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun