Mohon tunggu...
Subhan Afifi
Subhan Afifi Mohon Tunggu... -

Ayah 3 anak. Sedang menekuni penulisan Biografi. Sehari-hari mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta. Bisa ditemui di www.subhanafifi.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tak Ada Dusta di Rumah Kita

16 Mei 2011   02:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:37 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa dusta itu haram, banyak yang faham. Bahkan dusta adalah salah satu dosa besar yang membawa pelakunya ke neraka, tak ada yang menyangkal. Tetapi, entah kenapa, banyak orang enteng saja berbohong. Dari urusan kecil hingga masalah besar, dusta bisa ditemukan dalam keseharian. Kedustaan harus diwaspadai agar tak menjadi wabah yang membudaya.

Seorang ibu yang kehabisan akal untuk membujuk anaknya supaya mau ditinggal di sekolah pada hari-hari pertamanya, akan menggunakan senjata pamungkas : “Sebentar ya..ibu ke belakang, beli kue untuk adik..” Meninggalkan anaknya yang berharap-harap cemas tapi kemudian kecewa, karena sang ibu tak benar-benar kembali. Dusta dalam keseharian di rumah adalah bentuk tidak sesuainya antara kata dan kenyataan. “Ayah nggak punya uang..!” Padahal ayah akan pergi ke counter, beli pulsa. Pakai uang tentu saja. “Ayo mandi, kalau dah mandi kita jalan-jalan lho,” Setelah byar-byur-nya penuh semangat, ternyata jalan-jalannya tak jadi karena yang mengajak lebih asyik memelototi program televisi kesukaan. “Nggak usah beli es cream itu…nggak enak..sudah basi…Bikin batuk!” Wah..tentu tukang es cream bisa marah-marah kalau es cream-nya disebut sudah basi dan bikin batuk. Sebenarnya, pesan yang ingin disampaikan cuma satu : nggak usah beli es cream. Tapi kenapa harus berbohong.

Ungkapan turun temurun yang telah menjadi klasik,juga memberi teladan yang buruk dalam urusan berdusta. “Kalau makannya nggak abis, ntar ayam nya mati lho…”, “Aduh kodoknya nakal ya..bikin adik jatuh…kodoknya dah Ibu pukul..dah pergi jauh..cup..cup diam ya…!” Maka jika anak suatu saat didapati pandai berdusta, jangan-jangan orang tua yang memberi contoh tanpa disadari. Pandai membuat alasan adalah contoh dusta yang dilakukan anak. Padahal alasan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Ayah atau ibu tidak mau menemani mengerjakan tugas, bisa saja dijadikan alasan anak yang tidak mengerjakan tugas sekolah. Padahal waktunya habis untuk main game, misalnya.

Sekecil apapun, tak selayaknya ada dusta di rumah kita. Kebiasaan berdusta dari hal-hal kecil akan berlanjut ke hal-hal yang lebih besar dalam kehidupan. Dusta akan menyebabkan kerusakan pada banyak hal. Barang bisa rusak karena kebohongan. Hubungan antar sesama kita juga akan jadi tak nyaman, bila dibalut oleh kedustaan. Sekali kita merasa dibohongi oleh seseorang, susah untuk membangun lagi kepercayaan. Demikian juga dirasakan oleh orang lain, jika kita sampai membohonginya. Betapa sedihnya orang tua, jika anak-anak yang diharapkan menjadi permata hati, sampai hati membohongi ayah bundanya. Apalagi suami dan isteri sudah mulai pandai berdusta satu dengan yang lain. Kehancuran keluarga banyak yang bermula dari dusta yang dipelihara.

Anak yang memiliki kebiasaan berdusta, biasanya diajarkan oleh sekitarnya. Motivasi dusta yang paling sederhana biasanya karena ingin cepat menyelesaikan atau menghidar dari suatu masalah. Tetapi justeru masalah-masalah lain yang akan muncul. Satu kedustaan, biasanya akan memunculkan kedustaan-kedustaan lain yang sambung menyambung.

Orang tua dan guru perlu menerapkan metode pendidikan yang tepat pada anak-anak tercintanya, agar takut untuk berdusta. Agar dusta tak jadi budaya hidupnya. Beberapa tips sederhana bisa dicoba.

Pertama, memberikan pemahaman pada anak bahwa dusta membawa pada siksa dan murka Allah Ta’ala. Metode bercerita, berdialog atau dengan bahasa-bahasa sederhana yang mudah dipahami, dapat dipakai. Intinya, anak tidak berani berdusta karena tahu akibat dan konsekwensinya. Orang tua dan gurupun menjadi contoh pertama untuk tidak berdusta, sekecil apapun. Masih banyak cara komunikasi yang bisa memunculkan pemahaman pada anak dibanding potong kompas dengan cara berdusta.

Kedua, menumbuhkan rasa tidak suka untuk didustai, sehingga tidak akan mendustai orang lain. Mengajak anak untuk berbincang-bincang tentang pengalaman mereka dibohongi teman lain, atau contoh-contoh yang pernah mereka lihat tentang orang yang berbohong dan akibatnya.

Ketiga, mengajak anak mengetahui bahaya-bahaya dusta. Memposisikan diri sebagai sahabat anak yang terbuka dan nyaman untuk diajak curhat oleh anak, akan lebih mudah untuk berdialog tentang dusta. Termasuk menjelaskan bahaya-bahayanya. Sesuatu yang berbahaya tentu akan dihindari dan dibenci.

Keempat, jika anak telah diberi pemahaman bahwa berdusta tidak boleh, tahu konsekwensinya, tetapi tetap melakukannya suatu saat, maka hukuman padanya perlu diberikan. Berbagai bentuk hukuman, akan lebih baik jika disepakati sebelumnya, adalah bentuk dari pendidikan yang efektif, selain memberikan penghargaan jika tidak melakukan. Hukuman yang tepat pada anak, adalah bentuk sayang dan cinta. Mengurangi atau mengambil fasilitas yang biasa anak dapatkan, atau bahkan sesekali membuat anak merasakan kepedihan karena berdusta perlu dilakukan. Tentu saja, semua itu dilakukanatas dasar cinta. Agar tak ada dusta di rumah kita. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun