Seorang ayah pulang kerja di suatu sore yang masih terasa gerah. Hari yang melelahkan. Ada asa untuk segera menyegarkan jiwa di rumah yang penuh cinta. Terbayang celoteh riang anak-anak dan senyum manis bundanya. Untuk menyenangkan mereka, sang ayah mampir membeli sate ayam istimewa. Rupanya, hari itu yang di rumah sedang tidak enak hati. Kerewelan anak-anak balitanya sedang memuncak. Ketika bungkus sate dibuka, puteri cilik yang biasanya seperti bidadari itu tampak tak berkenan. Ia rupanya kecewa, sate yang dibawa sang ayah berbeda dengan sate kesukaannya. Tanpa ba-bi-bu, dia meludahi sate itu..”Cuihhh !”.
.
Sontak saja, laki-laki yang baru belajar jadi ayah itu tersulut. Dan..tanpa ba-bi-bu juga, dengan cepat telapak tangan kerasnya mendarat di pipi mungil si kecil. “Plakk !” Tangis keras pun melengking. Masih terlihat dada sang ayah turun naik menahan amarah. Tetapi semburat sesal segera menyeruak. Bukankah ia biasanya tidak pernah “bermain tangan” di rumah? Bukankah makna “meludah” berarti penghinaan luar biasa yang dipahaminya sebagai manusia dewasa 30-an tahun berbeda dengan arti “meludah” bagi si kecil 3 tahunan itu? Tak seharusnya “ketidaktahuan” si kecil berbalas tamparan yang menyakitkan. Tak hanya pipi, tapi juga jiwanya. Segurat luka dalam hati telah tertoreh. Berbuah sesal yang terlambat. Sesaat saja.
.
Ayah lain, kebetulan seorang sahabat dekat, berkisah tentang pengalamannya berhaji. Saat wukuf di padang Arafah, sebagai puncak haji, biasanya para jamaah haji akan menangis mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan. Sambil tak henti-hentinya beristighfar dan memanjatkan do'a. “Saya menangis, karena ingat anak saya…” katanya. Inilah bentuk dosa yang paling dia ingat di Arafah. Suatu hari, dia pernah pernah sangat marah pada anaknya. “Nangis nggak diam-diam, saya seret dia ke kamar, saya kunci dari luar,” kisahnya Tentu saja si anak menambah volume tangis sekeras-kerasnya. Sampai akhirnya benar-benar diam karena kecapekan dan dicuekin ayahnya. “Saya sungguh menyesal,” katanya mengenang. Ah.. 2 contoh itu bikin saya malu. Inilah gambaran dunia para ayah, termasuk saya, walau tidak semua tentu saja, yang mudah tersulut. Dunia para lelaki yang katanya lebih mendahulukan rasio daripada rasa. Untuk kasus ini rasio dan rasa, rupa-rupanya sama-sama tidak dikedepankan.
.
“Orang tua semacam ini memiliki sumbu pendek, sehingga cepat terbakar tanpa sempat berfikir,” tulis Ustadz Fauzil Adhim, dalam bukunya “Saat Berharga untuk Anak Kita”, terbitan Pro-U Media Yogyakarta (2009). Menurutnya, “Orang Tua Sumbu Pendek” cepat tersulut emosinya karena ada hal-hal yang kurang menyenangkan dari anak. Mereka cepat melampiaskan kemarahan hanya karena kejadian-kejadian kecil, tanpa berusaha mengendapkan terlebih dulu untuk mencari jalan paling jernih. Tidak menunggu waktu lama untuk mencubit anak dengan keras, bahkan “menampar” seperti ayah pertama tadi, membelalakkan mata secara menakutkan, atau segera menghujani anak dengan kata-kata makian dan umpatan. “Begitu anak melakukan sedikit kesalahan, atau bahkan belum tentu merupakan kesalahan, seketika itu pula orang tua menyerangnya dengan kata-kata ancaman, cap yang buruk atau pertanyaan yang memojokkan.” tulis Ustadz yang dikaruniai 7 anak itu. “Orang tua sumbu pendek !” sebutan yang “menampar” para orang tua, termasuk saya, tapi bukan tamparan yang menorehkan luka di hati tentu saja.
.
Saya jadi ingat 3 permata hati saya yang hebat-hebat : Azzam Abdussalam (10 tahun), Zulfa Athifah (9 tahun) dan Nuha Qonitah (6 tahun). Sehari-harinya mereka sangat manis dan pintar. Sesekali saja, seperti lazimnya anak-anak lain, ada perilaku mereka yang bikin gerah. Berkelahi khas anak-anak, tidak bersegera mengerjakan apa yang diperintahkan, atau hal-hal sepele yang sepele lainnya, yang belum tentu merupakan kesalahan. Tapi inipun seringkali saya tanggapi secara berlebihan. “Abi sering marah !” kata Zulfa, puteri kecil saya yang sering bicara kritis dan blak-blakan, dalam sebuah perbincangan santai di ruang keluarga, saat saya minta mereka untuk “mengevaluasi” saya. “Masa' sih..” kata saya menggoda Zulfa, sambil tetap merasa sebagai ayah tersabar di dunia, hahaha. “Iya.. sedikit..sedikit marah, salah sedikit marah,” katanya tak kalah tangkas. Saat itu rasa-rasanya Zulfa sedang “menampar” saya. Benar adanya. Hanya karena “sumbu yang tak panjang”, saya mudah tersulut. Maka muncullah gejala-gejala yang dirasakan Zulfa dan kakak-adiknya mungkin, sebagai amarah. Mulai dari suara yang meninggi hingga mimik wajah yang menyeramkan.
.
Duh.. ada segenggam rasa malu di sana. Apalagi mengingat pesan Sang Nabi ketika seorang laki-laki berkata-kata : “Ya Rasul Allah, berpesanlah kepadaku.” Nabi Saw berpesan, “La taghdab ! Jangan Marah.” Laki-laki itu bertanya berulang-ulang, tetapi Nabi Saw, tetap berpesan berulang kali pula, “La taghdhab ! Jangan Marah.” Hadist riwayat Buchari itu dikutip juga oleh Ustadz Faudzil sambil menguraikan dengan bahasanya yang cair, mengalir dan akrab, tentang beda “marah” dan “memarahi”. “Memarahi” anak, sebagaimana senyuman yang damai, seringkali diperlukan. Itu pun harus dilakukan secara bijak. “Cara Bijak Memarahi Anak” adalah salah satu tips Ustadz Faudzil yang menginspirasi ya. Hehe..bisa juga ya, memarahi dengan bijak. Alih-alih menebar ancaman, sebaiknya para orang tua mengajarkan konsekuensi pada anak. Sangat sering kita memarahi anak disertai ancaman : “Awas ya..! Kalau ..bla..bla...”. Padahal ancaman hanya membuat mereka untuk berlajar berontak dan menentang. Apalagi jika kegiatan memarahi itu diikuti dengan ungkapan-ungkapan yang meruntuhkan konsep diri dan harga diri (self esteem) anak, seperti : “Ayah kan sudah bilang berkali-kali... kamu koq masih nakal terus !”. Memberikan penjelasan dan konsekuensi dalam suasana yang akrab untuk membenahi perilaku anak yang tidak menyenangkan jelas lebih positif. “Jangan cela dirinya, cukup perilakunya saja !” dan “Jangan katakan Jangan”, adalah nasihat-nasihat Ustadz Faudzil yang menyejukkan di buku itu. Selain bicara hal teknis semisal bagaimana menghukum dengan kasih sayang, buku ini juga memberikan panduan berharga yang bersifat mendasar dalam dunia pendikan anak seperti memperbaiki niat, membangun jiwa anak, berusaha memahami anak dengan “menitip rindu untuknya”, hingga bagaimana mempersiapkan masa depan mereka dengan warisan yang sesungguhnya, berupa iman dan takwa, seperti yang dilakukan Lukman Al Hakim. Seorang tukang kayu yang karena kebijakannya mendapat kehormatan dari Allah untuk menjadi teladan bagi manusia dengan menyebut nama dan nasehat berharga untuk anak-anaknya dalam Al-Qur'an. Selain seperti “menampar” saya sebagai orang tua yang terkadang masih memiliki kebiasaan mudah marah dan tersulut, buku ini memberikan energi untuk bangkit dan bergegas, memanfaatkan waktu yang tersisa. Sungguh, seperti yang ditulis Ustadz Faudzil, waktu kita sangat pendek. Anak-anak kita yang saat ini masih balita tak akan lama lagi tumbuh menjadi remaja, dan dewasa. Saat ini mereka butuh kita, ingin ditemani, diajak ke sana kemari. Tapi lihat lah beberapa saat lagi. Betapa banyak anak yang untuk berjalan bersanding dengan orang tuanya saja, merasa malu.