Mohon tunggu...
Subhan Afifi
Subhan Afifi Mohon Tunggu... -

Ayah 3 anak. Sedang menekuni penulisan Biografi. Sehari-hari mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta. Bisa ditemui di www.subhanafifi.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ayah Sesaat

13 Maret 2011   09:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

.

Ustadz Faudzil Adzim menggambarkan fenomena ini dengan untaian kata-katanya yang indah dan bergizi : “Hari ini mereka memerlukan kita. Hari ini mereka amat besar kerinduannya kepada kita. Di antara mereka mungkin ada yang belum kering airmatanya karena berharap bisa bercanda, tetapi bapaknya sudah bergegas pergi untuk merebut sebuah kata yang bernama sukses. Mereka berlelah-lelah atas nama anaknya, padahal anaknya sedang kelelahan karena menunggu kesempatan untuk bermain bersama bapaknya. Mereka ingin berbincang dan bercanda, meski hanya sebentar. Dua menit saja... Ya..ya..ya selagi mereka belum dewasa, belum menginjak usia remaja, inilah saat berharga untuk kita. Inilah saatnya kita meluangkan waktu kita untuk menyapa mereka, sebentar saja. Inilah saatnya bagi kita untuk mengisi ruang jiwa anak-anak kita....”

.

Tiba-tiba saya juga teringat dengan seorang keponakan saya yang manis. Riska Milsa Khalida namanya. Rasanya, baru kemarin-kemarin saja, saya mengajaknya bercanda karena tingkah polahnya yang lucu saat balita. Belum lama berselang, Riska diwisuda dari Teknik Perminyakan Insitut Teknologi Bandung. Waktu memang berjalan begitu cepat. Si kecil yang lucu dan imut-imut itu “tahu-tahu” berangkat dewasa dan jadi sarjana. Ketika ia saya minta untuk menuliskan apa yang paling berkesan dari Papa-nya, yang super sibuk dan seorang profesional bidang kimia dan perminyakan, Riska menulis via email :

"Papa adalah sosok yang penyayang kepada anak-anaknya. Waktu kami kecil, walaupun pulang kerja papa udah capek banget, tapi kami anak-anaknya yang masih kecil selalu minta diajakin jalan-jalan sama Papa keliling kompleks dan didongengin biar bisa tidur. Dengan bersemangat Papa langsung ngajak kami jalan-jalan dengan mobilnya dan juga bercerita hingga kami tertidur. Jadi setiap Papa pulang kami selalu teriak “Papa pulaaaang..Papa pulaaaaang !”…Kalo lagi gak nafsu makan, seneng kalo minta suapin ke Papa..diguntingin kuku sama Papa..Kalo mau berangkat sekolah, ngeliat rambut gak rapi, adik-adik pasti disisirin Papa. Papa juga yang ngajarin kami (semua anak-anaknya) penjumlahan, perkalian, kimia dasar, semuanya deh..kecuali ilmu agama. Kalo ilmu agama diajarinnya sama mama..hehe. .................... Terimakasih Papa, atas kasih sayang yang Papa berikan kepada Mama dan anak-anak Papa. Kasih sayang dan semua yang Papa berikan sangat kami teladani hingga hari ini dan nantinya jika kami berkeluarga. Mungkin Riska dan anak-anak Papa yang lain sering khilaf dan ngecewain Papa dan Mama. Tapi dari lubuk hati yang paling dalam, kami selalu ingin membahagiakan Papa dan Mama. Membuat papa dan mama tersenyum bahagia. Melakukan yang terbaik yang kami bisa. Papa adalah papa terbaik sepanjang masa ! I love you..so much Papa.. "

.

Subhanallah. Ternyata, yang diingat seorang anak pada ayahnya, adalah hal-hal yang kelihatannya “sepele”, tapi begitu dalam maknanya di kemudian hari. Sosok ayah yang super sibuk itu, masih menyempatkan diri untuk mengajak anak jalan-jalan sepulang kerja, walau penat terasa di sekujur tubuh. Masih sempat mendongengi anak sebelum tidur, walau rasa kantuk di mata tak bisa diajak kompromi. Atau sekedar menyuapi, memotong kuku, menyisir rambut,dan menemani belajar. Benar juga kata Ustadz Faudzil : “Saat Berharga untuk Anak Kita !”. Lagi-lagi, saya diam-diam merasa malu. Rasa-rasanya saya belum banyak berbuat untuk anak-anak saya. Walau hanya sesaat. Seringkali saya tidak terlalu antusias menanggapi cerita-cerita si bungsu saya yang luar biasa, ketika sibuk sendiri dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Atau lebih cepat tertidur, ketika dongeng belum selesai saya kisahkan, ketika ketiganya masih bersemangat ingin mendengar. “Dilanjutkan besuk saja ya...” kata saya yang sudah tak kuat menahan kantuk dan langsung disambut kecewa mereka dengan kata : “Yahhhhh”. Apalagi, tadi, yang diingat oleh Zulfa misalnya, dari saya adalah : “sering marah”, dibanding pengalaman-pengalaman menyenangkan yang bisa membuat mereka bangga punya ayah seperti saya. Semoga masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Saatnya menancapkan niat kuat dalam hati untuk sungguh-sungguh menjadi “Ayah Sesaat”. Ayah yang bisa memanfaatkan waktu, walau sesaat, untuk membangkitkan jiwa mereka dengan hal-hal berguna. Melewatkan masa, sesaat demi sesaat, untuk mereka. Menyiapkan mereka menjadi generasi penyejuk hati yang taat pada Rabb-Nya, dan berguna untuk sesama. Bukan “Ayah Sesat” tentu saja ! (***).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun