Mohon tunggu...
Subhan Malik
Subhan Malik Mohon Tunggu... -

Pemerhati sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

“Dinda-Dinda” Pengguna KRL

17 April 2014   13:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa , masyarakat kita ini gampang diusik oleh status seseorang di sosial media yang sebenarnya hanya luapan emosi sesaat. Dinda adalah potret seorang pengguna transportasi massal (pengguna KRL) dalam kesehariannya yang merasa dirinya berhak untuk mendapatkan tempat duduk karena berangkat lebih pagi selepas subuh, Dinda tidak rela jika tempat duduknya diberikan kepada Ibu hamil yang menurut dia adalah seorang “pemalas” yang dengan tanpa susah payah ingin diberikan tempat duduk tanpa harus bersusah payah seperti yang dilakukan Dinda.

Pasti lebih banyak lagi Dinda-Dinda lainnya diluar sana yang tidak suka dan tidak simpati dengan ibu hamil yang ingin “dimengerti”. Permasalahannya adalah, kondisi psikologis seseorang tentunya akan dipengaruhi oleh sistem yang dihadapi setiap harinya.

Secara akal sehat, hati nurani , budaya timur dan tentunya orang berpendidikan. Sikap Dinda yang tidak simpati kepada ibu hamil didalam kereta harusnya tidak sepatutnya terjadi. Lalu apa yang membuat Dinda tiba-tiba meluapkan emosinya di sosial media  mengenai tidak simpatik pada ibu hamil di dalam kereta? Karena secara psikologis , kondisi Dinda sudah mulai frustasi. Saking frustasinya , ibu hamil yang seharusnya mendapatkan perlakuan istimewa, dan harus dimengerti ternyata dimata Dinda , simpati kepada ibu Hamil itu adalah salah. Sampai ibu Hamil pun harus diperlakukan sama seperti usaha Dinda harus berangkat pagi setelah subuh untuk mendapatkan tempat duduk didalam kereta.

Kenapa Dinda frustasi ? karena Dinda menhadapi suatu sistem manajemen transportasi massal yang tidak bisa diandalkan,  tidak adanya pelayanan transportasi massal yang seharusnya nyaman dan aman. Pelayanan jumlah kereta (KRL) tidak linear dengan jumlah penggunanya dan tidak adanya alternatif penggunaan transportasi massal selain KRL yang memadai seperti Bus-Bus dalam kota. Sehingga membuat Dinda harus bangun lebih pagi selepas subuh hanya untuk mendapatkan tempat duduk. Frustasinya Dinda adalah gambaran mayoritas penduduk di Indonesia yang setiap harinya frustasi dengan sistem transportasi massal di Indonesia khususnya di Jabodetabek.

Penulis hanya ingin berbagi pengalaman ketika bekerja di negeri gingseng,Seoul Korea Selatan. Di Seoul, transportasi massal menggunakan kereta bawah tanah dan Bus. Untuk kereta bawah tanah (subway) pada saat peak time alias jam sibuk, waktu interval antar kereta adalah 6-8 menit. Begitu banyaknya frekuensi keberangkatan kereta untuk mengantisipasi pengguna kereta yang membludak. Begitu juga dengan Bus, hampir dalam setiap 10 menit datang di setiap halte.

Satu lagi yang terpenting adalah mengenai “moral hazard”. Seorang warga negara yang baik tentunya taat dan patuh terhadap aturan. Tidak pernah penulis melihat penumpang KRL di Seoul menempati tempat duduk yang memang khusus untuk para ibu hamil, para manula dan difabel. Lagi-lagi “moral hazard”.

Sudah sepatutnya warga negara Indonesia, khususnya pengguna KRL mulai membenahi moralnya untuk menjadi warga yang “civilized”, dengan saling menghormati para pengguna KRL, mengistimewakan ibu hamil , para manula dan difabel. Tapi itu semua tentunya jika kondisi psikologis pengguna KRL tidak frustasi.

-------------------------------wa Allahu a’lamu---------------------------------------------------------

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun