8 Agustus 2014 menjadi gong MEA yang sudah didepan mata. Dirayakannya 47 tahun berdirinya Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), sekaligus menandakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah di depan mata.
Indonesia dengan jumlah penduduk & PDB terbesar di Asean hanya memiliki dua pilihan. Apakah menjadi leader, atau menjadi follower. Sangat naïf jika Negara yang memiliki penduduk 240 juta jiwa dengan pendapatan hampir setengah penduduk Asean hanya menjadi follower. Berkah Demografi pun dapat menjadi Bencana Demografi.
Data dari ADB dan ILO dalam pertemuan yang bertajuk “Asean Community: Managing Integration for Better Jobs & Shared Prosperity.” Menyatakan:
Total pertumbuhan Ekonomi Asia Tenggara yang mencapai 7,1% dengan penciptaan 14 juta lapangan kerja baru, Indonesia diprediksi hanya mencicipi sedikit dari kue MEA yang tersaji di depan. Indonesia diprediksi hanya mampu menyerap 1,9 juta atau sekitar 1,3% lapangan kerja hingga 2025 masih kalah disbanding Vietnam yg bisa memaksimalkan penyerapan tenaga kerja hingga 6juta atau sekitar 9,5%.
Beberapa waktu lalu sempat mencuat wacara untuk penyatuan mata uang regional ASEAN menjadi satu bentuk mata uang (seperti EURO). Pada dasarnya penyatuan mata uang regional ASEAN merupakan sesuatu yang diperlukan karena berbagai alasan.
Pertama tentu saja untuk mempermudah terjadinya transaksi antar negara-negara anggotanya dan akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Selanjutnya hal ini jelas akan menurunkan biaya berbagai transaksi tersebut dan ini jelas akan memberikan keuntungan untuk masing-masing pihak. Konsumen, dalam hal ini masyarakat akan diuntungkan karena ini memengaruhi turunnya harga barang. Penyatuan mata uang ini juga akan mengurangi dominasi dolar amerika dan juga membentuk kesetaraan mata uang ASEAN dengan mata uang dunia lainnya.
Pun bukan tak mungkin, perdagangan minyak di kawasan Asean akan ditetapkan dengan menggunakan uang tunggal ASEAN, menggantikan Dollar Amerika. Keuntungn pengunaan uang tunggal ASEAN juga akan dirasakan oleh negara-negara tetangga Asean, seperti Tiongok, India, Jepang. Dimana 2015 disinyalir menjadi kebangkitan era big data dan teknologi informasi, tentunya Negara-negara tetangga Asean akan sangat gencar berinteraksi dan bertransaksi dengan negara-negara ASEAN. Penggunaan mata uang tunggal yang menggantikan dominasi Dollar Amerika, dengan kurs yang akan lebih stabil, akan meningkatkan margin penjualan mereka. Dari sisi konsumen pun diuntungkan, sangat dimungkinkan konsumen akan mendapatkan harga yang lebih murah.
Mata uang tunggal ASEAN sudah menjadi wacana panjang di ASEAN, wacana ini semakin menguat setelah Euro berada pada masa keemasannya di awal 2002. Namun, seiring waktu, kejatuhan ekonomi Eropa dan pelemahan nilai Euro. Tak dapat dipungkiri, banyak praktisi yang berkaca dari fenomena ini, bahkan beberapaberbalik mengatakanbahwa mata uang tunggal ASEAN sangat tak dimungkinkan.
Mata uang Euro sendiri memiliki sejarah panjang. Mulai dari tahun 1957 dengan adanya kesepakatan dalam pertemuan negara-negara di Roma yang bersepakat membentuk pasar bersama dan penyauan militer. Pun akhirnya ide ini baru terealisasi 40 tahun kemudian, dimana Euro secara giral mulai dipakai sejak tanggal 1 Januari 1999, tetapi secara fisik baru dipakai pada tanggal 1 Januari 2002. Namun, saat ini, terhadap emas daya beli Euro sekarang hanya kurang dari 1/3 dibandingkan dengan daya belinya ketika lahir 18 tahun lalu. Padahal, kita ketahui, Euro disokong oleh negara-negara zona paling maju di dunia.
Keberadaan Euro diperparah dengan fenomena krisis ekonomi yang melanda Yunani, Portugal, Irlandia dan Spanyol. Negara-negara kaya penyokong bantuan seperti Jerman, Italia, dan Prancis pun ternyata terkena imbas ini. Negara Eropa lainnya pun terkena efek domino dari pelemahan Euro sepertiIrlandia, Portugal,Hungaria dan Spanyol.Berkaca dari hal ini, banyak ekonom yang menyangsikan Asean akan memiliki sebuah mata uang tunggal. Namun, perlu kita garis bawahi pula bahwa negara-negara ASEAN memiliki perbedaan baik dari segi ekonomi, pendidikan, hankam, sosial dan budaya.
Perlu digaris bawahi pula, isu untuk penyatuan mata uang juga sedang menjadi isu hangat negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Kebetulan, cukup banyak negara-negara yang tergabung dalam ASEAN yang juga merupakan anggota OKI. OKI sendiri mengusulkan untuk penggunaan Dinar dan Dirham sebagai alat tukar, guna menjaga dari tekanan inflasi.
Pengunaan Dinar dan Dirham di Indonesia sebenarnya bukan menjadi hal yang baru. Di Nusantara sendiri sejarah Dinar sudah ditemukan semenjak abad ke-13, pada saat pemerintahan Sultan Muhammad Malik Al Zahir (1297-1326) yang berkuasa di Samudera Pasai.
Pada era saat ini, penggunaan Dinar dan Dirham dapat kita temukan di Kampung Nelayan Cilincing, tepatnya di Jalan Inspeksi Kali RT 007/008 Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara. Di tengah kesederhanaan dan kondisi yang serba kekurangan, istimewanya perkampungan ini. Bertransaksi menggunakan pecahan dirham untuk membeli atau menjual barang. Sekitar 250 kepala keluarga (KK) di kawasan ini pernah mendapat masing-masing satu dirham sebagai zakat. Dari situlah keping-keping dirham mulai mereka berasal dan mulai berputar di kawasan ini.
Pendapat yang mengatakan Dinar (dan Dirham) adalah produk Islam pun sangat mudah dipatahkan dengan menilik kebelakang akan sejarah Dinar. Jauh sebelum era Islam, Romawitelah menggunakan Dinar yang berasal dari kata Danarius (bahasa Roma dan Latin). Namun, Dirham yang dilekatkan simbol-simbol Islam pertama kali dicetak oleh Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan di tahun 695 Masehi yang menyuruh Al Hajjaj untuk mencetak Dirham. Simbol Islam pun mulai dilekatkan terhadap Dirham, yaitu kalimat La Illaha Illallah di sisi muka, dan nama khalifah dan tanggal pencetakan di sisi yang lainnya.
Tak jauh dari perkampungan nelayan Cilincing, tepatnya di Jalan Sungai Landak, orang-orang juga mulai familiar bertransaksi dengan dirham. Di daerah ini, secangkir kopi herbal dihargai satu nisfu (setengah dirham). Menurut mereka, bagi masyarakat kecil di wilayah Cilincing, menggunakan uang dinar dan dirham sangat menguntungkan mereka karena nilainya tak susut serta tak terlalu terimbas dampak inflasi.
Kesimpulannya, penyatuan mata uang merupakan sesuatu yang baik, namun perwujudannya harus melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan hal itu diwujudkan.Meskipun memiliki berbagai keuntungan, namun perwujudan pembentukan mata uang tunggal ASEAN masih memiliki berbagai kendala, di antaranya masih amat beragamnya kondisi perekonomian negara-negara ASEAN. Upaya untuk perwujudan penyatuan mata uang ini harus didahului oleh maksimalisasi peran dari pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean. Selain itu untuk dapat mewujudkannya, harus terdapat kesatuan kesatuan tekad antara negara-negara anggota ASEAN sehingga infrastruktur untuk terbentuknya mata uang tunggal ASEAN dapat terwujud.
Untuk perbankan sendiri, diharapkan Asean Banking Integration Framework (ABIF) diharapkan dapat menjadi langkah pembuka untuk integrasi perbankan di ASEAN. Komisioner OJK Muliaman Hadad memprediksi, integrasi perbankan dalam MEA baru dimulai pada tahun 2020. Pun saat ini Perbankan masih mengejar untuk predikat Qualified Asean Banks (QAB).
Apakah Dinar dan Dirham dapat menjadi solusi? Mari kita duduk bersama dan mendiskusikannya J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H