Hal ini menjadi hikmah dan pelajaran berharga bagi berbagai komponen bangsa untuk menumbuhkembangkan solidaritas masyarakat dengan dukungan efektivitas media digital yang memberitakan peristiwa secara positif mengubur informasi sesat atau hoaks yang beberapa tahun terakhir telah meracuni ruang publik kita.
Semangat Altruisme
Selain keterlibatan berbagai institusi terkait dalam evakuasi korban dan pasca tragedi, keterlibatan masyarakat lokal secara sukarela juga sangat mengagumkan dan dapat menjadi  model partisipasi masyarakat dalam merespon berbagai problem pembangunan.
Sudarwanto alias Qodir menjadi salah satu sosok yang sangat fenomenal dengan kemampuannya dan pengalamnnya mengenal medan, sangat berani mengambil risiko terjun ke sungai untuk mengevakuasi para siswa-siwi yang sedang panik karena terseret arus banjir.
Beberapa media melaporkan kegigihannya untuk menolong anak-anak yang sedang mengalami musibah. Sosok sederhana namun penuh kebaikan serta ketulusan hati  mengambil risiko mengevakuasi korban bukan untuk ketenaran, imbalan atau pengakuan namun karena dorongan rasa kemanusiaan dan simpati.
Tindakan Qodir dalam perspektif teoritis sebagaimana digambarkan oleh Elias L. Khalil (2001) dapat dimaknai sebagai perilaku altruistik (altruism behavior) dimana Qodir rela mengorbankan kepentingannya demi manfaat dan kepentingan orang lain. Dalam konteks ini, Qodir berani mengambil risiko (mengorbankan kepentingan pribadi) demi dapat menolong dan menyelamatkan anak-anak yang sedang menghadapi bahaya.
 Dalam banyak perdebatan akademik, perilaku altruistik yang ditandai dengan kepedulian dan pembelaan pada kepentingan orang lain sering dilawankan dengan perilaku egois (egoistic behavior) yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi.
Teori klasik dari Adam Smith menggambarkan bahwa perilaku altruistik didasari oleh simpati terhadap orang lain dan kepentingan orang lain. Simpati sebagi konsep moral memberikan kemampuan pada seseorang untuk peka terhadap problematika orang lain sehingga mendorong rela mengorbankan kepentingan pribadinya.
Kemampuan mengembangkan simpati terjadi melalui proses internalisasi dalam masyarakat dan praktik budaya timbal balik (resiprokal) dimana pada masyarakat agraris-pedesaan umumnya gotong royong dan  tradisi tolong menolong masih mengakar kuat serta dipraktikkan dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H