Pikiran manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk berkelana melampaui batasan waktu. Kita sering kali mendapati diri merenung tentang masa lalu atau merancang skenario masa depan, sementara saat ini, yang nyata dan sedang berlangsung, terlewat begitu saja. Namun, mengapa hal ini terjadi? Apa yang membuat pikiran lebih senang meloncat ke masa depan atau masa lalu daripada hidup sepenuhnya di masa kini?
Secara alami, pikiran manusia dirancang untuk menganalisis, mengidentifikasi, menilai, dan memutuskan. Ini adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup yang memungkinkan kita untuk menghadapi tantangan dan mengambil keputusan yang tepat, sebagaimana telah dibahas sebelumnya tentang kecenderungan pikiran untuk berkelana ke masa lalu atau masa depan. Inilah yang membuat kita mampu bertahan hidup dan berkembang sebagai spesies. Pikiran cenderung menyukai sesuatu yang rumit, karena tantangan tersebut memberi rangsangan yang membuatnya aktif. Ketika berada di masa kini yang tenang dan tanpa tekanan, pikiran merasa bosan. Ia kemudian melompat ke masa lalu untuk mengurai kejadian atau ke masa depan untuk membuat proyeksi.
Namun, ada konsekuensi dari kebiasaan ini. Ketika pikiran berusaha menganalisis pengalaman masa lalu, ia sering kali membawa perasaan penyesalan atau kesedihan yang mendalam karena fokusnya pada apa yang sudah tidak bisa diubah. Sebaliknya, melompat ke masa depan memunculkan kekhawatiran, ketidakpastian, atau bahkan ketakutan. Kondisi ini bisa menjauhkan kita dari kenyataan masa kini yang sebenarnya adalah satu-satunya waktu yang benar-benar kita miliki.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard University pada 2010 menunjukkan bahwa pikiran manusia mengembara sekitar 47% dari waktu kita sehari-hari. Hal ini memberikan bukti ilmiah tentang bagaimana kebiasaan pikiran mengembara dapat menciptakan ketidakpuasan, seperti yang telah dijelaskan pada konsekuensi dari fokus pada masa lalu atau masa depan. Penelitian ini juga menemukan bahwa ketika pikiran mengembara, kita cenderung merasa kurang bahagia dibandingkan ketika fokus pada apa yang sedang kita lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pikiran untuk melompat ke masa lalu atau masa depan sebenarnya bisa menjadi penghalang kebahagiaan.
Daniel Gilbert, salah satu peneliti, menjelaskan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu memikirkan masa depan dengan begitu mendalam. Kemampuan ini memungkinkan kita merencanakan dan mempersiapkan diri, tetapi juga membuat kita rentan terhadap stres dan kecemasan.
Contoh ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ambil contoh seorang pekerja kantoran yang sedang duduk di meja kerjanya. Alih-alih fokus menyelesaikan tugas, pikirannya melayang ke kesalahan yang dilakukan pada presentasi minggu lalu. Sesaat kemudian, ia khawatir tentang laporan yang harus diserahkan esok hari. Akibatnya, ia kehilangan konsentrasi dan produktivitas menurun. Kehidupan sehari-hari seperti ini menunjukkan bagaimana kebiasaan pikiran mengembara dapat memengaruhi kualitas hidup.
Kasus lain bisa ditemukan pada seseorang yang merasa tidak puas dengan hidupnya. Kondisi ini mencerminkan bagaimana kebiasaan pikiran yang cenderung menganalisis masa lalu atau masa depan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat memperkuat rasa tidak puas. Ketika merenung, ia menyalahkan keputusan-keputusan di masa lalu atau takut menghadapi tantangan masa depan. Tanpa disadari, kebiasaan ini membuatnya terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan.
Pikiran adalah alat yang dirancang untuk memecahkan masalah. Ketika tidak ada masalah yang nyata di hadapan kita, pikiran menciptakan masalah untuk dipecahkan. Hal ini sering terjadi ketika kita sedang santai atau tidak sibuk. Dalam kondisi ini, pikiran menggali pengalaman masa lalu atau membuat skenario masa depan. Kecenderungan ini menjadi salah satu alasan utama mengapa kita sulit untuk benar-benar hidup di masa kini.
Selain itu, kebutuhan untuk merasa berguna juga menjadi dorongan. Pikiran senang memproses informasi, bahkan ketika informasi tersebut tidak relevan atau tidak bermanfaat. Ini sebabnya mengapa pikiran cenderung menghidupkan kembali konflik lama atau menciptakan kekhawatiran baru.
Meskipun pikiran memiliki peran penting dalam kehidupan, kita perlu menyadari bahwa pikiran hanyalah salah satu alat dalam diri manusia. Ia bukan penguasa yang harus selalu diikuti. Kesadaran ini memberi kita kekuatan untuk mengarahkan pikiran agar bekerja sesuai kebutuhan, bukan sebaliknya.
Dengan memanfaatkan pikiran secara bijak, manusia telah menciptakan peradaban dan teknologi yang mempermudah kehidupan. Dari penemuan roda hingga internet, semuanya adalah hasil kerja pikiran yang diarahkan untuk tujuan positif. Namun, agar pikiran bisa memberikan manfaat optimal, kita perlu belajar untuk hidup di masa kini.