Apakah kita benar-benar memahami Tuhan, atau sekadar bergantung pada kisah-kisah yang diwariskan dari masa ke masa? Tuhan sering kali dianggap sebagai sosok tertinggi dalam berbagai agama, dipanggil dengan nama yang berbeda-beda, namun tetap dipuja sebagai Sang Maha Pencipta. Meskipun penyebutan-Nya berbeda, esensi-Nya sering kali tetap serupa. Tetapi, apakah pemahaman yang diwariskan ini cukup mendekatkan kita pada-Nya, atau justru membuat kita merasa berjarak, seolah Tuhan hanya hidup dalam cerita-cerita?
Sebagai figur tertinggi, Tuhan menjadi benang merah di antara keberagaman pandangan setiap agama. Nama, konsep, hingga tata cara penyembahan mungkin berbeda, tetapi sifat-Nya yang maha pengasih, adil, dan bijaksana adalah gambaran yang umumnya dipegang oleh banyak agama. Tuhan digambarkan sebagai sosok dengan kekuatan tak terbatas, melampaui pemahaman manusia biasa. Namun, di tengah keragaman nama dan sifat ini, muncul pertanyaan: apakah kita telah memahami Tuhan dengan sungguh-sungguh, atau hanya dari kisah-kisah yang diwariskan?
Di sinilah ambiguitas ini berakar. Di satu sisi, Tuhan begitu akrab melalui berbagai sebutan; namun di sisi lain, kita sering merasakan jarak, seakan Tuhan adalah entitas jauh yang hidup dalam cerita, tanpa pernah benar-benar hadir dalam hidup kita.
Bagi sebagian besar orang, Tuhan adalah topik yang kerap dibahas dalam dialog keseharian. Pembicaraan tentang Tuhan memberi bobot makna, layaknya garam yang menyempurnakan masakan. Namun, sering kali pembicaraan ini terasa hampa, sekadar formalitas, tanpa pengalaman yang benar-benar menyentuh hati. Tuhan disebut dalam percakapan atau doa, tetapi tidak selalu hadir dalam kesadaran penuh. Bagaimana kita bisa menambah kedalaman dalam percakapan tentang Tuhan, sehingga terasa nyata dalam keseharian?
Menempatkan Tuhan dalam setiap dialog memang memberi nuansa utuh, namun kita perlu bertanya: Apakah hanya menyebut nama-Nya cukup untuk mendekatkan diri, atau justru sekadar menjadi formalitas? Pertanyaan ini mengajak kita untuk merefleksikan makna kehadiran Tuhan yang sejati.
Dalam tradisi agama, Tuhan sering kali ditempatkan dalam posisi tertinggi yang suci -- sebuah tempat yang diyakini sangat murni, di luar jangkauan manusia awam. Hanya sosok-sosok tertentu yang dianggap suci dan terpilih yang bisa mendekat kepada-Nya. Pemahaman ini menunjukkan bahwa menjaga jarak merupakan bagian dari rasa hormat terhadap Tuhan, yang diyakini tak boleh disentuh sembarang tangan.
Namun, timbul pula pertanyaan: Apakah dengan menempatkan Tuhan pada posisi yang begitu jauh, kita dapat lebih mengenal-Nya, atau justru menciptakan jarak yang sulit terjembatani? Di sini, kita melihat dilema antara menjaga kesucian Tuhan dan mendekatkan diri pada-Nya. Posisi-Nya yang begitu agung memang mencerminkan keagungan, namun juga membuat-Nya terasa berada di luar jangkauan.
Sering kali, pengetahuan kita tentang Tuhan bersumber dari kisah-kisah yang disampaikan oleh tokoh-tokoh yang dianggap memiliki hubungan dekat dengan-Nya. Namun, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar mengalami pertemuan langsung dengan Tuhan? Banyak di antaranya menyampaikan konsep tentang Tuhan berdasarkan cerita-cerita yang diwariskan turun-temurun, tanpa pernah mengalami pertemuan pribadi. Layaknya seorang teman yang menceritakan film yang telah ditontonnya dengan penuh antusias kepada temannya, yang mendengarkan mungkin turut merasakan semangatnya, meski tidak benar-benar "menyaksikan" film tersebut.
Perumpamaan ini menggambarkan bahwa banyak orang berbicara tentang Tuhan seolah telah "melihat" atau bertemu dengan-Nya, padahal hanya mendengar dari kisah orang lain. Pengalaman mendengar, walau bisa menyentuh, tetap berbeda dari pengalaman langsung. Maka, semakin kita merenungi hal ini, semakin kita memahami bahwa pemahaman tentang Tuhan tidak seutuhnya, melainkan hanya bayangan dari cerita yang diwariskan.
Di sinilah perenungan yang lebih mendalam dimulai. Jika Tuhan adalah sosok yang begitu tinggi, mungkin pengalaman nyata tentang kehadiran-Nya ada dalam keseharian kita yang paling sederhana. Seperti halnya seseorang yang benar-benar menonton film merasakan dinginnya AC, kursi bioskop yang empuk, dan suasana gelap saat film dimulai, pengalaman ini memiliki kedalaman yang tak tertandingi oleh sekadar cerita. Demikian juga dengan Tuhan: pertemuan sejati tidak sekadar melalui kata-kata, melainkan melalui kehadiran yang terasa nyata dalam hidup.