Dandi menatap jauh dari balik jendela gedung perkantoran tempatnya bekerja, mengamati hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur. Di sela-sela kesibukan itu, pikirannya melayang jauh ke masa-masa ia berada di negeri asing, menggenggam beasiswa LPDP sebagai jembatan menuju impiannya. Baginya, LPDP bukan sekadar beasiswa; itu adalah sebuah kesempatan besar untuk mendalami ilmu demi Indonesia. Namun kini, setelah pulang ke tanah air, satu pertanyaan mengusik hatinya: Apakah semua yang ia pelajari di sana sudah cukup untuk membawa perubahan di sini?
Pada awalnya, Dandi dan penerima beasiswa lainnya diwajibkan untuk kembali ke Indonesia setelah studi berakhir. Banyak yang menganggapnya sebagai batasan, sementara bagi Dandi, kewajiban ini adalah pengingat bahwa pendidikan ini adalah investasi negara. Di balik tuntutan tersebut, terletak janji yang ia buat sejak awal: berbakti untuk bangsa.
Namun, tidak semua lulusan berpikiran sama. Beberapa merasa perlu tinggal sementara di luar negeri untuk mencari pengalaman lebih lanjut. "Mungkin, fleksibilitas itu bisa membawa manfaat yang lebih luas,” pikir Dandi. Tapi, ia juga bertanya-tanya, "Bagaimana memastikan bahwa lulusan yang memilih untuk tetap di luar tetap memberi manfaat bagi Indonesia?"
Diskusi ini semakin tajam ketika ia bertemu kembali dengan rekan-rekan LPDP di tanah air. Mereka merasakan dilema yang sama: tanggung jawab kepada bangsa, berhadapan dengan aspirasi pribadi yang seringkali lebih kompleks. Mungkinkah aturan ini perlu dievaluasi? Atau justru harus dipertahankan demi memastikan bakat-bakat terbaik kita kembali untuk membangun negeri?
Dalam pertemuan reuni itu, Dandi kembali mendengar berbagai kisah perjuangan teman-temannya selama menimba ilmu di negeri asing. Berada di lingkungan baru, mereka belajar, beradaptasi, dan membuka diri terhadap wawasan yang luas. Brama, salah satu temannya, menceritakan kerinduan yang ia rasakan selama studi. "Setiap kali kita bahas studi kasus di kelas, aku selalu berpikir, 'Apakah ini bisa diterapkan di Indonesia?' Jadi, bagiku, pulang adalah kebutuhan, bukan sekadar kewajiban," ujarnya.
Bagi Dandi dan teman-temannya, pengalaman di luar negeri bukan hanya soal ilmu, melainkan juga tentang merenungi bagaimana setiap pelajaran bisa membawa manfaat bagi Indonesia. Mereka berbagi cerita tentang kerinduan, tantangan budaya, hingga cita-cita untuk kembali. Walau beberapa teman memilih tetap di luar untuk mengembangkan karier sementara waktu, mereka semua merasa ada panggilan batin untuk pulang.
Di sinilah mereka menyadari bahwa kontribusi nyata mungkin tak selalu langsung terlihat besar. Bahkan langkah-langkah kecil pun, jika dilakukan dengan tekad, akan memberikan dampak bagi masyarakat. Keinginan mereka untuk pulang dan mengabdi terus membara, terikat oleh satu benang merah: pengabdian.
Setelah kembali, Dandi dan Brama mulai mencari cara nyata untuk menerapkan ilmu yang mereka dapatkan. Mereka menyadari, sekadar menjalani rutinitas pekerjaan tidak cukup untuk mewujudkan visi besar yang pernah mereka impikan. Maka, setiap akhir pekan, mereka mendirikan kelas keterampilan digital untuk anak-anak muda di daerah terpencil, memberi pelatihan dan bimbingan sederhana.
Program ini memang kecil dan penuh tantangan. Waktu yang terbatas, fasilitas yang seadanya, semua itu adalah hal-hal yang harus mereka atasi. Namun, bagi Dandi, senyum dan semangat anak-anak muda itu adalah pengingat bahwa kontribusi bukan soal besar kecilnya langkah, melainkan ketulusan dalam menjalaninya. Ia tersenyum puas setiap kali melihat para peserta kelas belajar dengan antusias. Melalui program kecil ini, ia merasa bahwa cita-cita besarnya perlahan-lahan menjadi nyata.