Menulis di platform digital seperti Kompasiana bukan hanya soal menyuarakan ide, tetapi juga tentang menemukan tempat di mana kita bisa mencurahkan pikiran dengan bebas. Bagi saya, perjalanan menulis di Kompasiana dimulai dari sebuah pengalaman sederhana namun berkesan, saat saya mengikuti kelas menulis  agak lain di Bandung. Kelas yang dibawakan oleh Bapak Agung Webe pada tanggal 20 Juli 2024 itu adalah momen penting yang akhirnya membawa saya bergabung dengan Kompasiana pada tanggal 22 Juli, hanya dua hari setelah kelas selesai.
Pengalaman di kelas tersebut menjadi titik awal yang membuka mata saya tentang arti sebenarnya dari menulis. Kelas yang dimulai pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB bukan sekadar membahas teknik menulis. Di sana, saya diajak menggali lebih dalam tentang dunia menulis, bukan sekadar bagaimana cara merangkai kata, tetapi bagaimana menulis dengan jiwa, dengan emosi, dan dengan kejujuran. Dari situ, saya merasa tertantang untuk mulai menulis dengan serius, meski awalnya hanya sekadar coba-coba.
Pengalaman pertama saya menulis di Kompasiana adalah sebuah perjalanan penuh kejutan. Meskipun awalnya terdorong oleh rasa iseng, saya tak menyangka akan mengalami serangkaian emosi yang begitu intens dan tak terlupakan. Itu adalah momen ketika saya untuk pertama kalinya benar-benar menyadari bagaimana proses menulis dapat membawa seseorang pada kegelisahan yang mendebarkan, seperti jantung yang berdegup kencang, bahkan saat hanya menunggu hasil dari sebuah karya sederhana.
Berawal dari saya menulis  topik pilihan  "Kisah di Balik One Hit Wonder dan Fenomena Musik Masa Kini." Tema ini tema topik pilihan yang diberikan oleh kompasiana. Mungkin karena saya sering mendengarkan musik saat waktu luang, atau mungkin terinspirasi dari diskusi selama mengikuti kelas menulis di Bandung yang dibawakan oleh Bapak Agung Webe, saya merasa terpacu untuk mencoba menuangkan pikiran-pikiran yang selama ini hanya terpendam.
Kembali ke hari di mana saya akhirnya memutuskan untuk menulis di Kompasiana, suasananya masih terasa begitu segar di ingatan. Setelah mengikuti kelas menulis itu, tepat dua hari kemudian, pada tanggal 22 Juli 2024, saya memberanikan diri mengirim tulisan pertama saya ke platform ini. Rasanya seperti sebuah eksperimen, sebuah langkah kecil yang awalnya tidak saya ambil dengan terlalu serius. "Hanya mencoba," pikir saya saat itu, dengan harapan bahwa tulisan saya akan ditayangkan. Namun, saat saya menekan tombol 'tayang', hati saya langsung terasa tidak karuan.
Detik-detik setelah tulisan dikirim adalah salah satu momen paling mendebarkan dalam hidup saya. Perasaan cemas dan tak menentu seakan mengambil alih seluruh pikiran saya. Jantung berdegup kencang, lebih cepat dari biasanya, seperti saat menunggu hasil ujian yang sudah lama dinantikan. Apakah tulisan saya akan diterima? Apakah layak tayang? Apakah akan ada yang membaca, apalagi memberi komentar? Semua pertanyaan itu berputar dalam kepala, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu panjang.
Ketegangan itu semakin terasa ketika saya menerima notifikasi bahwa tulisan saya berhasil ditayangkan di Kompasiana. Seketika, semua kegelisahan itu lenyap, digantikan oleh rasa lega yang luar biasa. Ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat karya kita diterima dan diakui oleh platform sebesar ini. Bahkan, walaupun tulisan saya hanya berangkat dari rasa iseng, tanggapan yang saya terima membuatnya menjadi lebih bermakna. Setiap komentar yang masuk, setiap penilaian, membawa semacam energi baru yang memotivasi saya untuk terus menulis.
Namun, kesenangan itu tidak berhenti di situ. Setelah euforia awal karena tulisan pertama saya tayang, saya mulai merasa ketagihan. Rasanya seperti menemukan sebuah pelabuhan baru, di mana ide-ide yang tadinya hanya berputar di kepala kini bisa dituangkan dalam bentuk tulisan. Setiap kali saya mengirim tulisan baru, meskipun rasa deg-degan masih ada, perasaan itu perlahan berubah menjadi sebuah rutinitas yang saya nikmati. Dag-dig-dug yang awalnya menakutkan berubah menjadi sebuah antisipasi yang menyenangkan.
Dari pengalaman iseng yang berujung dag-dig-dug, hingga ke titik di mana saya merasa menulis di Kompasiana bukan lagi tentang mencari validasi, tapi tentang mencurahkan ide tanpa beban. Tulisan saya mungkin tidak selalu masuk dalam artikel utama atau pilihan, tapi itu tidak lagi menjadi fokus utama saya. Yang terpenting adalah keberanian untuk menulis dan berbagi. Lagipula, pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menulis bukan soal apresiasi semata, melainkan proses berbagi gagasan dan cerita dengan orang lain.
Kesan pertama saya tentang menulis di Kompasiana tidak akan pernah saya lupakan. Dari rasa iseng yang berubah menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan, saya belajar bahwa menulis bisa menjadi jalan untuk menyuarakan isi hati dan pikiran. Dag-dig-dug yang semula menakutkan, kini menjadi semacam ritme yang saya nantikan setiap kali saya mengirim tulisan baru.