museum. Cahaya lampu lembut menerangi lorong-lorong yang dipenuhi artefak, patung, dan lukisan---semua bercerita tentang masa lalu yang menunggu untuk ditemukan.
Di tengah ruangan yang hening, langkah kaki perlahan menggema, memecah keheningan yang menyelimuti dinding-dinding"Apa yang membuatmu kembali ke sini?" tanya Dinah dengan suara lembut, seperti angin yang membawa aroma kenangan.
Darman menatap sekeliling, seolah menyerap setiap detail yang tertangkap matanya sebelum menjawab, "Sebenarnya, aku sedang mencari jawaban." Ia berhenti sejenak, mengingat kenangan dua tahun lalu di Museum Nasional. "Terakhir kali aku datang ke museum ini dua tahun lalu. Saat itu, aku masih merasakan aura keagungan dari setiap arca yang dipajang, tapi ada sesuatu yang terasa hilang---sesuatu yang belum aku pahami."
Dinah tersenyum tipis, rasa ingin tahunya kian dalam. "Apa yang paling membekas dari kunjunganmu waktu itu?"
Darman menghela napas dan memejamkan mata, seolah-olah kembali ke momen tersebut. "Di ruangan yang sunyi, aku terdiam di depan Arca Bhairawa, peninggalan besar dari Kerajaan Sriwijaya. Mungkin karena tingginya yang menjulang atau ekspresi wajahnya yang keras, aku merasa seolah ditantang untuk mencari makna hidup yang lebih dalam. Ada rasa hormat yang tiba-tiba muncul, sebuah pengingat akan kebesaran sejarah dan betapa kecilnya kita di hadapan waktu."
Dinah mengangguk pelan, mencoba mengaitkan cerita Darman dengan sesuatu yang lebih besar. "Dan sekarang, kau kembali untuk mencari makna itu?" tanyanya dengan nada hangat, seolah ingin membantu Darman mengurai misteri yang disimpannya.
Darman mengangguk perlahan. "Ya, dan mungkin lebih dari itu. Aku ingin menemukan kembali apa yang hilang---bukan hanya dari sejarah, tapi juga dari diriku sendiri. Mungkin museum lain bisa memberikan jawaban yang belum kutemukan di sini."
Sabrina, yang sejak tadi diam mendengarkan, tampak tergerak oleh kata-kata Darman. Dia mengambil nafas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku mengerti apa yang kau maksud. Aku juga pernah merasakan hal serupa ketika mengunjungi Museum MACAN. Di sana, seni bukan hanya untuk dilihat, tapi juga dirasakan, bahkan disentuh. Ada sebuah pameran instalasi yang membuatku merasa menjadi bagian dari karya itu sendiri. Rasanya seperti melangkah ke dunia lain yang penuh warna, suara, dan imajinasi. Pengalaman itu mengubah cara pandangku tentang seni dan kehidupan."
Darman terperangah dengan kisah Sabrina. "Museum MACAN?" tanyanya dengan mata berbinar, membayangkan pengalaman yang baru didengar. "Bagaimana kondisinya? Apakah masih terawat dengan baik?"
Sabrina tersenyum, ingatan tentang museum itu tampak menyenangkan baginya. "Sangat terawat. Setiap sudutnya bersih, pencahayaannya tepat, dan stafnya ramah. Mereka juga terus mengadakan pameran baru, jadi setiap kali datang, selalu ada sesuatu yang berbeda. Itu salah satu cara mereka tetap relevan---dengan terus beradaptasi dan berkembang."
Dinah, melihat bagaimana pembicaraan ini berkembang, membawa topik ke arah yang lebih praktis. "Apakah kalian menggunakan fasilitas lain selain melihat koleksi seni atau sejarah?"