[caption id="attachment_132708" align="alignleft" width="261" caption="illustrasi (pontianak.tribunnews.com)"][/caption] Usai shlat Ied,saya dan keluarga langsung meluncur ke rumah Bu De, yang selama ini saya anggap sebagai orang tua sendiri. Di ruang tamu rumah Bu De, sudah berkumpul anggota keluarga dan kerabat. Suasananya benar-benar meriah. Makan-makan sambil berbincang santai, terkadang diselingi senda gurau..Pokoknya gayeng!
Hanya saja, ditengah suasana semarak perayaaan Idul Fitri kali ini, saya tidak melihat Wawan berkumpul bersama keluarga Bu De. ”Habis shalat Ied, dia langsung keluar. Jalan-jalan sama temannya,” ujar Bu De, ketika saya tanya keberadaan Wawan.
Siapakah Wawan? Apakah dia anak kandung Bu De? Bukan! Wawan adalah perjaka 23 tahun yang bekerja sebagai pembantu di warung Bu De. Meski berstatus pembantu, Bu De dan Pak De memperlakukan Wawan layaknya anak kandung sendiri. Begitu juga Wawan,memiliki ketaatan kepada Bu De dan Pakde layaknya orang tua sendiri.
Bagi orang yang belum mengenalnya, mungkin tidak percaya kedekatandan kehangatan Wawan dengan keluarga Bu De, majikannya. Selama lima tahun lebih bekerja sebagai pembantu, Wawan awalnya hanya digaji 400 ribu rupiah perbulan. Setelah dinilai kinerjanya bagus, gaji Wawan tiap tahun dinaikkan dan kini telah mencapai satu juta rupiah per bulan. Berbeda dengan upah pekerja formal, upah yang diterima Wawan adalah upah netto yang harus ditabung atau dikirim untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya di kampung. Untuk urusan tempat tinggal, makan sehari-hari hingga biaya transportasi, semuanya ditanggung Bu De.
Apakah kelebihan Wawan sehingga dia disayang dan diperlakukan majikannya dengan hangat layaknya anak kandung sendiri? Dengan tugas utama sebagai pelayan di warung, Wawan dikenal disiplin, rajin bekerja, supel dalam bergaul dan memiliki integritas moral yang tinggi. ”Sudah puluhan kali saya ganti pembantu, namun belum ada yang kejujurannya menandingi Wawan,” ujar Bu De. Kejujuran dan keramahan Wawan tak hanya diakui keluarga Bu De, tapi juga diakui para tetangga di sekitar warung, yang umumnya pedagang pasar. Hampir tidak ada pedagang di pasar yang tidak mengenal sosok Wawan karena dia sering mengantar makanan dan minuman pesanan para pedagang.
Saking banyaknya pedagang yang sayang sama Wawan, lebaran kemarin Wawan ’kebanjiran’ hadiah semacam THR dari para pedagang. Sejumlah pedagang memberi angpau berisi uang. Ada yang membelikan baju dan celana jeans. ” Bahkan Aceng, China pedagang HP sebelah warung, membelikan sepasang baju koko dan sarung buat shalat. Padahal Aceng agamanya Budha.”jelas Bu De bangga. Beragam hadiah lebaran yang diterima Wawan, sejatinya hanya sebagai pelengkap keberhasilan Wawan merayakan Idul Ftri. Kenapa saya nilai sebagai pelengkap keberhasilan, karena selama ini Wawan sudah berhasil mengamalkan nilai-nilai kejujuran dalam sikap dan perilaku keseharian. Kejujuran adalah salah satu implikasi prakstisyang harus diamalkan seseorang yang berpredikat berhasil menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
[caption id="attachment_132710" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi (pinkie48.blogdetik.com)"][/caption] Bukan di masa lebaran saja, kejujuran Wawan mendapatapresiasi dan penghargaan dari para pedagang pasar. Saat merayakan Imlek beberapa waktu lalu, A Hok, pedagang sembako di pasar samping warung Bu De, menitipkan satu kardus lusuh berisi uang tunai 400 juta rupiah lebih kepada Wawan. Entah apa alasanya, sebagai pedagang yang omzetnya puluhan juta per hari, A Hok tidak memilih menyimpan uang di rekening bank, tapi malah ditipkan kepada Wawan. ”Tolong bawa pulang simpan ya Wan,kami sekeluarga mau pulang kampung merayakan Imlek,” kata A Hok. Dengan santai, Wawan menerima kardus berisi uang itu dan diletakkan di belakang lemari warung majikannya.
Kelakukan Wawan menerima amanah berat dari A Hok ini ternyata tak sepengetahuan Bu De dan Pak De. Kedua majikannya itu baru tahu dan malah terkejut, setelah A Hok kembali dari kampung dan singgah ke warung mengambil kembali kardus titipannya.Setelah menyerahkan kardus titipan itu, Wawan tersenyum sumringah, karena mendapat imbalan 300 ribu rupiah dari A Hok.”Wan, jangan kau ulangi lagi menerima titipan seperti itu. Sangat beresiko. Kalo kamu dirampok orang di jalan bagaimana?” ujar Bu De mewanti-wanti . ” Ah, mana ada orang yang menyangka kardus lusuh itu berisi uang ratusan juta,” sahut Wawan enteng.
Selain diakui kalangan pedagang, kejujuran Wawan juga diakui teman-teman sebayanya. Sudah sering kali, teman-teman sebaya Wawan yang sibuk bekerja, menitipkan uang kepada Wawan untuk dikirim ke keluarga di kampung lewat bank. Untuk jasa ini, Wawan tak mematok imbalannamun teman-temannya sering memberi imbalan jauh diatas nominal yang dia perkirakan. Dengan pekerjaan sampingan ini, sejatinya dalam keseharian, Wawan tak hanya sebagai pembantu tapi juga merangkap sebagai penjual jasa pengiriman uang hingga pembelian tiket kapal dan pesawat layaknya travel mobile.
Akhirnya, ini hanya sekilas cerita kecil tentang lebaran orang kecil yang memiliki integritas moral yang kini jarang dimiliki dan tak mudah dipraktekkan orang-orang besar. Baik orang yang sudah besar dalam kekayaan maupun besar dalam kekuasaan. Semoga Wawan tak selamanya menjadi pembantu tapi bisa naik kelas menjadi pedagang sukses seperti majikannya. Saya yakin, dengan integritas dan keramahan yang dimiliki, Wawan bisa menjadi sosok pemuda dan pedagang sukses, yang dicintai keligus memberi manfaat bagi keluarga dan masyarakat lingkungannya. Semoga!
Salam hangat dan tetap semangat
Imam Subari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H