[caption id="attachment_299040" align="alignleft" width="300" caption="Soeharto (alm) (sumber:mgitapurnama.dagdigdug.com)"][/caption] Rencana pemerintah mengusulkan mantan Presiden RI HM Soeharto (alm) menjadi pahlawan nasional mengundang reaksi kontroversi di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat yang mendukung, menilai Soeharto layak mendapat gelar pahlawan karena besarnya jasa almarhum selama memimpin bangsa Indonesia. Sedangkan kelompok yang kontra, menilai Soeharto tidak layak menerima gelar itu karena selama menjadi presiden, banyak kebijakan beliau yang berdampak menyengsarakan rakyat. Praktek korupsi dan pelanggaran HAM adalah dua masalah yang paling sering dikedepankan. Silang pendapat tentang kelayakan Soeharto menerima gelar pahlawan nasional, juga nampak pada sejumlah tulisan yang diposting di Kompasiana sepekan terakhir. Pendapat yang mendukung antara lain tercermin dalam tulisan Kompasianer Della Ana (klik di sini), sedangkan tulisan yang kontra setidaknya bisa diwakili tulisan Kompasianer asal Aceh, Zulfikar Akbar (klik di sono). “Dimasa kepemimpinan Presiden Soeharto kita mengalami kemajuan yang sangat gemilang dalam bidang swa sembada pangan. Ini harus kita akui secara objektif. Indonesia menerima penghargaan dari FAO sebagai yang terbaik dalam segi swa sembada pangan tahun 1985”, demikian antara lain argumentasi Della Ana yang menguatkan Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional. Sedangkan Zulfikar Akbar, mengungkapkan fakta kekejaman militer di Aceh selama masa kepemimpinan Soeharto sehingga rakyat Aceh tak sudi menjadikan beliau sebagai pahlawan nasional. “ Orang kampung mana yang bisa mengizinkan diri dihinggapi amnesia, ketika teungku atawa tokoh agama di gampoengnya dipermainkan kemaluannya oleh serdadu. Mata siapa yang bisa menghapus bayangan ketika tetangga yang sekarat disiksa dan meminta diberikan air, malah diminumkan air yang sedang mendidih” demikian antara lain gambaran fakta kekejaman militer yang hingga kini sulit dilupakan sebagian orang Aceh. Sebagai rakyat yang merasa ikut bertanggungjawab terhadap masa depan bangsanya, memberi masukan dan pendapat setiap kebijakan atau keputusan yang hendak dibuat pemerintah, jelas merupakan sikap yang positif dan perlu terus ditumbuhkembangkan. Semua gagasan yang kita ungkapkan, boleh berupa kritik yang konstruktif, penolakan atau dukungan, asal disertai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Membiasakan diri untuk kritis dan responsip terhadap berbagai perkembangan, akan menumbuhkan corak masyarakat yang beradab, masyarakat yang menjunjung tinggi akal fikiran dan etika. Bukan masyarakat yang mengandalkan emosi dan otot belaka. Terus terang, saya sebenarnya ingin ikut menilai sosok dan kiprah almarhum Soeharto, khususnya selama beliau memimpin rezim orde baru. Agar kesimpulan yang saya peroleh tidak bias dan menyesatkan, tentu saya ingin menilai semua keberhasilan sekaligus kegagagalnnya.. Mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya pertahanan keamanan, hingga hukum dan HAM. Sayangnya. keinginan itu tidak bisa saya laksanakan karena saya sadar tidak memiliki kompetensi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan, terkait banyaknya aspek yang dinilai dari sosok dan kiprah Soeharto. Tanpa didukung kemampuan dan kompetensi ilmiah memadai, saya khawatir, kualitas penilaian dari saya, tak lebih baik dari sekedar obrolan ringan di warung kopi. Idealnya, menilai sosok dan kiprah Soeharto tentu akan lebih memuaskan semua pihak kalau dilihat secara menyeluruh, mulai sejak dia masih kecil hingga dewasa. Baik dalam kapasitas sebagai pribadi, kepala keluarga hingga menjadi presiden. Kekurangan dan kelebihan pun harus dicatat secara rinci. Mulai kekhilafan dalam bentuk berkata bohong hingga kekhilafan yang oleh sebagian orang dikategorikan sebagai korupsi hingga pelanggaran HAM. Kelebihannya pun harus diakui secara rinci, mulai senyumnya yang teduh dan memnyenangkan sebagian rakyatnya hingga prakarsa beliau membangun ribuan masjid megah lewat Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Sayangnya, kita tidak memiliki kompetensi dan kewenangan untuk menimbang Soeharto secara detail dan komprehenshif seperti itu. Penilaiaian sosok Soeharto sedetail dan komprehensif itu, hanya wewenang Tuhan yang pelaksanaannya sudah ditugaskan kepada para malaikat. Imbalan dari hasil penilaian paripurna itu pun bukan lagi gelar pahlawan nasional tapi surga dan neraka. Oleh karena itu, keputusan untuk diberi atau tidaknya gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto, sebaiknya serahkanlah kepada Tim Penilai yang akan melakukan tugasnya sesuai kriteria kelayakan yang ditentukan pemerintah. Tentu saja keputusan yang diambil, pasti tidak akan memuaskan semua pihak. Bagi anda yang setuju, jadikanlah gelar kepahlawanan Soeharto sebagai cambuk dan teladan untuk meningkatkan kualitas diri agar bisa terus berbuat baik bagi sesama. Sedangkan bagi yang tidak setuju, sebaiknya jangan terus memelihara rasa dendam yang tak berkesudahan. Sikap seperti ini berpijak dari kerangka fikir bahwa sesungguhnya Soeharto bukanlah malaikat, tapi manusia biasa yang tak luput dari khilaf dan dosa. Lewat tulisan ini, saya tak hendak ikut terlibat sikap dukung-tolak dengan kedua pihak yang berbeda pendapat. Saya hanya ingin menekankan pentingnya multi sudut pandang dalam menilai seseorang, termasuki sosok calon pahlawan. Multi sudut pandang diperlukan dalam menilai sesuatu, agar kita dapat memmperoleh kesimpulan yang tepat dan utuh sehingga bisa bersikap proporsional.. Melihat dan menilai sesuatu hanya dari satu sudut pandang model kaca mata kuda, tidak hanya berpotensi menyesatkan dan merugikan diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Jangan sampai kita menyimpulkan sosok gajah itu bentuknya seperti kipas karena kita melihat gajah dari sudut pandang yang kebetulan hanya nampak telinganya saja. Akhirnya, mengapreasiasi prestasi dan berbagai kebaikan yang diperbuat orang lain, cukup penting agar kita dapat pelajaran sekaligus termotivasi untuk terus ikut melakukan kebaikan kepada sesama. Sebaliknya, mengkritik kekurangan dan kesalahan orang lain juga penting agar kita sama-sama mampu melakukan koreksi dan perbaikan sehingga dalam mengarungi bahtera hidup kita tidak terjerumus pada kesalahan yang pernah kita perbuat. Ketika orang yang pernah menyakiti kita sudah tiada, bukankah memaafkan kesalahan orang itu merupakan sikap dan pebuatan mulia? Mudah-mudahan kita tidak termasuk bangsa yang gemar memelihara rasa dendam karena justru akan menyakiti diri sendiri. Serahkan vonis perbuatan baik dan buruk orang lain kepada pengadilan Tuhan, agar kita mampu menatap dan membangun masa depan dengan penuh optimistik. Imam Subari Salam hangat dan tetap semangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H