[caption id="attachment_97221" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi (okezone.com)"][/caption] Ketika masih berstatus anak kos di sebuah apartemen, saya bertetangga dengan wanita cantik. Umurnya sekitar 20-an dan hanya tamatan SMA. Saya tak tahu persis nama lengkapnya. Saya biasa memangilnya, Eny. Berbeda dengan kamar tempat tinggal saya, kamar Eny tergolong mewah untuk ukuran anak kos. Selain tempat tidur pegas yang empuk, bergabai peralatan elektronik mewah hingga AC melengkapai kamar kos Eny. Maklum, Eny adalah “istri” simpanan seorang warga Singapura keturunan India. Sebagai istri simpanan, Eny hanya digauli suaminya tiap akhir pekan, sabtu dan minggu, Selebihnya, Eny nampak sebagai pengangguran karena tidak jelas kerjanya. Meski pengangguran, hampir tiap malam (kecuali akhir pekan), Eny rajin melantai ke berbagai klab malam. Saya tidak berani menyebut Eny sebagai pelacur karena tidak pernah melihat dia melakukan transaksi protitusi di tempat hiburan malam. Hanya saja, saya beberapa kali memergoki Eny pulang malam ke tempat kos dalam kondisi sempoyongan mabuk minuman keras. Diantar pria bermobil mewah pula. Dengan pekerjaan tidak jelas dan sering akrab dengan dugem, Eny mampu mencitrakan dirinya sebagai wanita shalehah dimata orangtuanya di kampung. Di suatu sore di depan kamarnya, saya mendengar percakapan telepon antara Eny dengan ibunya di kampung. “ Jelas sudah shalat ma. Selama di perantauan, Eny tak hanya rajin bekerja tapi juga rajin shalat,” begitu antara lain ocehan Eny menjawab telepon ibunya di kampung. Jawaban ini membuat saya terkejut, karena selama beberapa bulan bertetangga kamar kos, saya tidak pernah melihat Eny menjalankan shalat. Beberapa bulan setelah mendengar telepon mengejutkan itu, pada suatu hari, Eny kedatangan Ema, ibunya dari kampong. Sang ibu nampak senang melihat kondisi kamar kos anaknya yang dilengkapi barang-barag berharga. Tentu ini menjadi indikasi kesuksesan anak gadisnya selama merantau. Apalagi selama ini, Eny juga rutin mengirim uang kepada orang tuanya di kampung. Setelah dijamu makan dengan aneka hidangan yang lezat, Ema langsung bergegas mengambil wudlu untuk menunaikan shalat. “ Mukena dan sajadah dimana nduk?”, tanya Ema. Mendapat pertanyaan ibunya, tentu saja Eny kelabakan. Dia tidak memiliki mukena dan sajadah karena selama ini memang tidak pernah sahalat. Meski demikian, Eny tidak kehabisan akal. Setelah usaha beberapa menit, Eny berhasil meminjam mukena dan sajadah dari teman kamar kos tetangganya, kemudian diserahkan ibunya. Usai mengenakan mukena, Ema kembali memanggil Eny karena kebingungan saat hendak menggelar sajadah. “Arah kiblat kemana nduk?” tanya Ema. Mendengar pertanyaan ini, Eny kembali kebingungan karena selama kos di apartemen ini, Eny tidak pernah shalat sehingga tidak paham dengan arah kiblat. Setelah bertanya kesana-kemari, Eny akhirnya berhasil menunjukkan arah kiblat kepada ibunya. Saya tidak tahu persis, apakah setelah kejadian tersebut, Nyonya Ema masih mempercayai sikap dan perilaku keseharian Eny seperti yang sering dia ceritakan lewat obrolan telepon. Oalah, Eny…Eny…dimanakah dikau sekarang? Sudahkah anda mencium tangan dan meminta ma'af kepada ibumu? Salam hangat dan tetap semangat Imam Subari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H