Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sajian Halal di Hari Natal

25 Desember 2010   08:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignright" width="340" caption="Ilustrasi"][/caption] Meski ada yang kurang setuju, memberi ucapan selamat Natal kepada teman yang beragama Kristiani, sudah sering saya lakukan. Kadang berupa pesan pendek lewat hape. Ada juga yang saya sampaikan secara langsung lewat tatap muka. Sebagian teman yang merayakan Natal malah saya kunjungi ke rumahnya. Meski mengetahui saya Muslim, toh mereka menerima kunjungan saya dengan suka cita. Salah satu teman karib yang rutin menerima ucapan  Natal dan saya kunjungi rumahnya adalah Loh Kia Hock alias A Hok alias Lucas, warga keturunan China yang umurnya kini lebih 50 tahun..  Maklum, selama lebih 10 tahun saya bekerja sebagai jurnalis televisi,  selama itu pula A Hok menjadi kameramen saya. Bahkan hubungan kami tak hanya sebatas hubungan kerja antara reporter-kameramen televisi, tapi sudah mirip seperti saudara. Lima tahun terakhir, karena saya pindah tugas, A Hok tak lagi bekerja dengan saya, namun persahabatan kami masih hangat terasa. “Hallo, ajak anak-anak ke sini Mas. Istri saya nggak pernah masak babi. Jadi semua hidangan Natal di rumah saya jamin halal,” demikian undangan A Hok lewat telepon suatu ketika usai menerima ucapan Natal dari saya. Undangan disertai jaminan halal seperti ini, seingat saya seringkali diucapkan A Hok ketika mengundang saya untuk berkunjung ke rumahnya. Entah apa maksud A Hok memberi jaminan halal itu, padahal saya tahu persis, dalam hidup keseharian, keluarga A Hok tidak terbiasa dengan masakan yang diharamkan menurut Islam. Bagi sebagian orang, jaminan halal hidangan Natal seperti diungkapkan A Hok bisa dinilai hanya sekedar basa-basi. Namun bagi saya, jaminan itu layak diapresiasi karena mencerminkan sikap penghormatan seseorang terhadap keyakinan orang lain. A Hok ingin sekali berbagai kebahagiaan Natal yang dirasakannya kepada keluarga saya, tanpa harus menyinggung apalagi melukai rasa keberagamaan saya. Saya yakin, sikap seperti ini tak hanya dilakukan A Hok kepada saya, tapi juga kepada teman-temannya yang lain khususnya yang beragama Islam. Apakah sikap A Hok tersebut berlebihan? Terserah anda menilainya. Yang jelas, dengan sikap saling menjaga perasaan dan menghormati keyakinan seperti itu, hubungan persahabatan saya dan A Hok hingga kini tetap hangat. Sikap saling menghormati seperti ini, juga tidak hanya terjadi pada perayaan Natal. Dalam hubungan keseharian, ketika dalam perjalanan liputan misalnya, A Hok yang sering kebagian pegang setir mobil, akan dengan suka rela membelokkan stir mobil ke halaman masjid, ketika suara azan berkumandang. Bahkan A Hok enjoy aja menunggu di mobil ketika saya sedang shalat di masjid. Sebaliknya, selama puluhan tahun menjadi partner kerja, sekali pun saya tidak pernah meminta A Hok untuk liputan ketika jadwal dia harus melakukan kebaktian di gereja. Adakah rahasia lain yang selama ini menjadi dasar hubungan saya dan A Hok sehingga persahabatan kami tetap hangat?  Mungkin saja ada dan sikap ini salah satunya. A-Hok yang memliliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan keagamaan tidak tergolong tinggi, ternyata bisa juga menerapkan sikap keberagamaan yang inklusif dan siap menerima kehadiran orang lain yang dianggap berbeda. Ya beda usia, beda suku bahkan beda agama. Kedua sikap ini cukup mudah diungkapkan tapi kadang susah diimplementasikan, termasuk oleh sebagian umat Islam yang tergolong memiliki tingkat pendidikan dan ilmu agama yang tinggi. Ini ditandai dengan sikap keberagamaan mereka  eksklusif dan  dan tidak memberi tempat bagi orang lain yang tidak sepaham, apalagi beda agama. Padahal, tidak sedikit di antara mereka yang cukup fasih melafalkan ayat suci Al-Qur’an : Lakum diinukum waliyadiin. Semoga sekelumit pengalaman pribadi ini bisa menjadi bahan renungan dan introspeksi kita bersama, dalam upaya ikut meningkatkan solidaritas dan hubungan harmonis antar umat beragama di Indonesia. Salam Kompasiana Imam Subari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun