Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Money

Takut Haji dan Haji Takut

19 Oktober 2010   09:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:18 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_295074" align="alignleft" width="219" caption="illustrasi jamaah haji (sumber : indonesia.faithfreedom.org)"][/caption] Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan dambaan setiap muslim Sungguh mengundang tanda tanya, bila ada seorang muslim yang nampak sudah memiliki kemampuan  namun tak segera melaksanakan rukun Islam ke lima itu. Singkatnya, orangnya sehat lahir-bathin,  dana untuk membayar ONH lebih dari cukup, berbagai sarana dan prasarana menuju ke tanah suci, cukup lengkap. Kalau tidak segera berangkat, masih nunggu apa lagi? “Belum siap mental,” jawab Pak Nunggu, tetangga dekat saya ketika ditanya kapan berangkat ke tana suci. Jawaban itu pula yang diberikan  Pak Nunggu kepada istrinya, ketika sang istri mengajaknya segera menunaikan ibadah haji. Maklum, diantara teman dekat, keraban bahkan keluarga, tentu Bu Nunggu lah yang paling tahu kondisi Pak Nunggu luar dalam. Sikap Bu Nunggu merayu sang suami agar segera pergi haji sangat beralasan. Selain merupakan kewajiban sebagai seorang muslim, Bu Nunggu yakin benar, predikat “Pak Haji” yang bakal melekat di depan nama Pak Nunggu, tentu akan bisa menjadi perisai atau penghalang bagi Pak Nunggu dari berbagai perilaku negative. Harapan Bu Nunggu tentu tidak berlebihan, karena dengan pangkat, jabatan dan pendapatan suaminya yang lumayan tinggi, peluang dan godaan untuk berbuat kurang baik juga makin terbuka lebar. Sikap dan perilaku Pak Nunggu yang selama ini paling merisaukan istrinya adalah kebiasaannya melirik ‘daun muda’. Entah sekedar iseng sebagai hiburan atau memang tabiat yang belum mampu dihilangkan, Pak Nunggu sering kepergok chatting bahkan bertelepon mesra dengan  wanita bersuara merdu. “Godaan inilah yang membuat saya hingga kini belum siap menunaikan ibadah haji,” jelas Pak Nunggu kepada Kang Ipul, teman saya yang kebetulan memergoki Pak Nunggu sedang  chatting dengan wanita muda yang entah dimana posisinya. Jika Pak Nunggu mengaku belum bisa menghilangkan hobinya melirik ‘daun muda’ sebagai alasan penundaan ibadah haji, Kang Ipul justru memiliki prasangka lain. Kang Ipul justru melihat Pak Nunggu belum siap menunaikan ibadah haji karena status pendapatan yang dia peroleh selama ini dirasa tidak cukup “clear” untuk disisihkan sebagian kecil guna membayar ONH. Maklum, jika mengacu pada pekerjaannya sebagai pejabat, sebenarnya kurang wajar kalau Pak Nunggu memiliki tabungan hingga milyaran rupiah. “Dari mana sumbernya kalau tidak dari uang setoran sana-sini,” jelas Kang Ipul berprasangka. Bila prasangka Kang Ipul benar, saya menilai Pak Nunggu justru termasuk pribadi yang jujur, minimal dengan diri sendiri.. Dia memang takut dan belum siap menunaikan ibadah haji karena setatus hartanya yang tergolong abu-abu. Meski demikian, menurut saya, pribadi Pak Nunggu jelas lebih baik bila dibandingkan dengan sebagian orang/pejabat yang tanpa rasa bersalah menimbun harta dari setoran sana-sini. Entah setoran komisi proyek atau dana siluman yang sering tidak bisa dibuktikan secara hukum. Pribadi model terakhir ini, biasanya sangat bangga menyebut dirinya dengan predikat Haji dan terkadang ditambah dengan nama-nama indah yang mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang shaleh. Naudzubillah min dzalik. Semoga tidak banyak pejabat publik di negeri ini yang menyandang predikat Haji seperti prototype terakhir tadi. (***) Lain Pak Nunggu, lain lagi dengan cerita tetangga saya yang satu ini. Namanya sebut saja Haji Takut. [caption id="attachment_295079" align="alignright" width="259" caption="illustrasi warung bakso (sumber : inovassi.com)"][/caption] Dia hanya pedagang bakso langganan saya dan kebetulan berjualan di pasar dekat rumah saya. Sejak pulang menunaikan ibadah haji dua tahun lalu, dia memang sering takut. Maksudnya, takut melakukan perbuatan tercela yang diharamkan agama sekaligus takut tidak berusaha jujur dalam usaha. Apakah ini implikasi kedasaran dirinya agar mampu menyemai nilai-nilai haji mabrur dalam sikap dan perilaku keseharian? Entahlah. Dalam pengamatan saya, sejak pulang menunaikan ibadah haji dua tahun lalu, kepribadian Haji Takut memang banyak berubah.. Haji Takut nampak berusaha mengimplementasikan nilai-nilai agama yang dia yakini dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dalam hubungannya dengan keluarga, hubungan sosial hingga dalam bisnis baksonya. Ajaran agama yang diperoleh dari sekolah dan berbagai forum pengajian, tidak hanya sekedar menjadi pengetahuan, tapi harus bisa dinikmati dan menjadi landasan dan visi dalam hidup keseharian. Sebagai pedagang bakso, Haji Takut sudah lama menjalankan usahanya dengan ilmu bisnis konvensional. Agar usahanya baksonya berjalan, syarat pokok yang harus dipenuhi ada tiga E. Petama, Enak rasanya. Maksudnya, produk bakso yang dijual harus memilki cita rasa yang enak, minimal enak untuk ukuran kebanyakan orang. Kedua, Enak tempatnya. Artinya, warung sebagai tempat usaha, harus berlokasi di tempat yang strategis, ruang dan perabot  yang bersih serta dilengkapi tempat parkir yang memadai.Sedangkan E terakhir adalah Enak harganya. Maksudnya, harga jual yang ditetapkan harus terjangkau untuk konsumen kebanyakan. Selain melandasi bisnisnya dengan ilmu bisnis konvensional tadi, Haji Takut juga melandasi bisnisnya dengan filosofi “bisnis dengan Tuhan”. Artinya, Haji Takut selalu berusaha merasakan kemahahadiran Tuhan dalam sikap dan perilakunya dalam mengelola bisnis bakso. Filosofi ini terbukti bisa menghindarkan sikap dan perilaku bisnis culas, bohong  dan  tipu menipu , baik kepada konsumen maupun kepada para relasi yang memasok bahan baku kebutuhan usahanya. Dengan kejujuran, Haji Takut mampu memelihara relasi dengan para pelanggannya sekaligus memperkokoh dukungan dari para relasinya. Saya tidak pernah menanyakan, berapa perkembangan omzet penjualan bakso Haji Takut dalam dua tahun terakhir. Hanya saja, yang nampak sepintas memang ada peningkatan. Warung berjualan bakso yang dulu hanya nebeng di emperan toko milik orang lain layaknya pedagang kaki lima lainnya, sudah setahun terakhir, warung Haji Takut berpindah ke ruko kontrakan. Meski mungkin belum mampu membeli ruko dua lantai yang kini disewanya, Haji Takut sering mengaku bersyukur dengan perkembangan bisnisnya yang dirasakan cukup pesat. Sebagai wujud  syukur akan karunia rezeki dari bisnis baksonya, Haji Takut yang sebelumnya hanya menyisikan sebagian penghasilannya dalam bentuk zakat harta dan sedikit infak, kini Haji Takut Sudah memiliki sejumlah anak asuh di panti asuhan yatim piatu tak jauh dari rumahnya. Haji Takut juga mengaku sering tak tahan meredam kerinduan bersama istrinya, untuk kembali memenuhi panggilan Allah  ke tanah suci. “Naik haji berulang kali nggak apa-apa, asal dibarengi dengan kewajiban sosil seperti kepedulian terhadap yatim piatu,” ujar Haji Takut memberi alasan ketika ditanya mengapa lebih suka kembali manunaikan ibadah haji, padahal kewajiban haji cukup sekali saja. Dengan menerapkan filosopi berbisnis dengan Tuhan, kini Haji Takut relatif bisa hidup tanpa beban dalam mengeloa bisnis bakso dan lebih optimistis dalam  membangun masa depan keluarga. Dengan sumber penghasilan yang diyakini halalan thoyyiban, Haji Takut yakin penghasilan yang diperoleh dapat memberi berkah dalam membangun masa depan keluarga. Pasalnya, rezeki halal yang mengalir dalam darah daging keturunannya, akan berdampak positif terhadap kecerdasan, sikap dan perilaku generasi penerusnya. “Jangan sekali-kali berambisi menumpuk harta yang tidak halal, berbahaya bagi masa depan generasi penerus kita,’ demikian pesan Haji Takut suatu saat ketika ngobrol menemani saya makan bakso di warungnya. Meski merasa berhasil dengan bisnis baksonya, Haji Takut juga sering mengakui berbagai kekurangan pada dirinya sebagai manusia. Ditengah makin kerasnya persaingan usaha, yang kadang dimenangkan oleh orang-orang yang nekad menghalalkan segala cara, termasuk dengan bisnis culas dan injak kiri-injak kanan dalam berebut proyek, apakah filosofi bisnis yang dianut Haji Takut masih cukup memberi daya tarik bagi kita, generasi masa kini? Bisakah kita merasakan kerinduan akan panggilan Allah SWT ke tanah suci dengan dukungan rezeki yang penuh berkah seperti dirasakan Haji Takut? Mudah-mudahan masih ada, meski dalam bentuk, skala dan jenis usaha (bisnis) yang berlainan. Mari kita tatap masa depan dengan penuh optimistik. Mata hari masih nampak bersinar terang dibalik bukit, meski harus kita tempuh lewat perjuangan dan kerja keras. Semoga! Imam Subari Salam hangat dan tetap semangat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun