Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

“Gue Kumpul Kebo Tapi Tanggungjawab”

28 Januari 2010   06:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_64457" align="alignleft" width="265" caption="illustrasi (google.com)"][/caption] Siang. Di kafe sebuah mal, seorang pemuda duduk sendirian. Tangannya penuh tato. Rambutnya kribo dan wajahnya tampan, mirip Giring ‘Nidjie’. Ditemani segelas orange jus di meja, mulut pemuda itu sering mengepulkan asap rokok. Matanya  menatap lalu lalang pengungjung mal yang lewat di depan kafé. <;p>Tanpa disangka, tiba-tiba datang pria tukang hipnotis menghampiri pemuda itu. Setelah kenalan, diketahui pemuda kribo itu bernama Dody, 25 tahun, drop out semester dua jurusan senirupa sebuah perguruan tinggi. “Saya dipecat dari kuliah karena ketahuan pacaran di WC,” demikian Dody menjelaskan alasan dosen memecatnya. Tentu saja yang dia maksud pacaran disini bukan sekedar berduaan sepasang kekasih, tapi sudah melakukan hubungan yang ‘kebablasan’.  “Ada sebab lain juga, saya sering mabuk miras di kampus,” tambah Dody berterus terang. Di tengan kerumunan puluhan pengunjung mal, Dody tiba-tiba terlelap sambil duduk karena di hipnotis. Dalam keadaan tak sadar itulah, tukang hipnotis itu mewancarai Dody. Mulai dari riwayat hidup singkatnya bersama keluarga, kisah kandas studinya hingga hubungan asmara dengan sang pacar yang tidak direstui kedua orang tuanya. Wawancara ini sering disambut gelak tawa penonton, karena Dody menceritakan hubungan tak senonoh pribadinya dengan lugu tanpa tedeng aling-aling. Maklum saat bercerita, Dody dalam kondisi dihipnotis. Karena tergolong anak nakal, Dody mengaku sudah lama tidak dihiraukan lagi sama keluarganya. “Jadi selama ini kamu tinggal sama siapa?” tanya Tukang Hipnotis “Saya tinggal sama pacar, ngekos,” jawab Dody “Kalian sudah nikah?” “Belum.” “Jadi kalian kumpul kebo?” ”Ya.” “Pacar kamu dimana sekarang?” “Nnggak tahu lagi dimana dia sekarang.” “Lho,kok nggak tahu?” “Ya benar nggak tahu. Sudah dua minggu ini dia dibawa kabur dan disembunyikan orang tuanya entah dimana. Saya sudah cari ke Surabaya, tapi nggak ketemu.” “Kira-kira mengapa pacarmu dibawa kabur orang tuanya?” ”Mereka tentu akan memisahkan kami. Mereka tak menyetujui hubungan asmara kami, karena saya bertato. Padahal pacar saya itu sedang hamil dua bulan.” “Ha! Sedang hamil?” “Ya.” “Bagaimana perasaan anda begitu tahu pacarmu sedang hami? “Ya gue senang aja, tapi campur takut.” “Kenapa takut?” “Ya, karena semua orang tua kami nggak ada yang merestui hubungan kami.” “Kenapa senang? “Gue senang sekali karena bisa punya anak.” “Sekarang apa rencana dan harapanmu dengan kondisimu sekarang?” “Saya terus merindukan pacar saya. Saya ingin dia segera kembali. Saya akan bertanggungjawab untuk menjadi suami dan ayah bayi itu.” “Lho kamu sudah punya kerjaan dan penghasilan?” “Belum. Tapi saya bertanggungjawab. Saya optimis bisa membangun masa depan dengan pacar saya itu. Saya yakin sekali mampu mewujudkan impian kami,” Dialog tersebut diungkapkan  seorang pemuda bernama Dody dalam acara Uya Emang Kuya yang  ditayangkan di SCTV, Rabu (27/1). Awalnya saya sempat menyangka kisah tersebut fiktif karena diungkapkan dalam kondisi tidak sadar akibat dihipnotis. Tapi setelah dikonfirmasi saat Dody sadar, alamaak, hampir semua penonton terperanjat karena aib pribadi tersebut diakui sebagai kisah nyata yang kebenarannya seratus persen. Ya, seratus persen kisah nyata bukan fiktif. Bahkan Dody pun siap tanda tangan di atas materai untuk mempertanggungjawabkan segala konsekwensi akibat tayangan ini. Usai menonton acara ini, sejumlah pertanyaan berkecamuk silih berganti di benak saya. Meski nara sumber tersebut tidak dimaksudkan sebagai sample untuk memotret gejala social, namun tidak menutup kemungkinan, jangan-jangan masih ada satu, dua atau bahkan puluhan “Dody-Dody” lain yang tinggal di sekitar kita? Eksistensi mereka memang tersembunyi di balik rumah kos atau rumah kontrakan dan tidak mungkin mereka membuka aib pribadinya kepada warga sekitarnya. Apa penyebabnya? Bukankah bahaya seks bebas sudah sering dikumandangkan?  Kalau ini memang terjadi, bagaimana sebaiknya kita bersikap? Bagi anda yang masih bujangan alias ngejomblo, gejala ini sebaiknya mengingatkan akan perlunya manajemen hati atau manajemen qolbu? Mengapa? Karena hati punya potensi kekuatan untuk mendorong manusia bersikap dan berperilaku baik atau buruk. Hati punya kecenderungan untuk tidak konsisten dalam merespon lingkungannya. Oleh karena itu, hati perlu dimenej agar semaksimal mungkin menghasilkan sikap-perilaku baik  dan meminimalisir sikap-perilaku buruk. Hati yang mendorong sikap dan perilaku baik namanya hati nurani ( nur : cahaya, cahaya Ilahi). Jadi hati nurani adalah hati yang mampu memancarkan sikap dan perilaku yang sejalan dengan citra Tuhan. Dengan hati nurani, memungkinkan manusia bersikap dan berperilaku mencontoh sifat-sifat Tuhan sejauh kemampuannya sebagai makhluk. Agar kekuatan ini dominan harus dilatih terus menerus. Jika dorongan hati nurani cukup kuat, seorang pemuda atau gadis remaja, tentu akan mampu menolak godaan untuk hidup dengan seks bebas, meski tawaran itu datang dari pemuda tampan atau gadis secantik apa pun.  Respon sebaliknya akan terjadi, bila hati nurani dilumpuhkan oleh hawa nafsu. Inilah yang mungkin sering disebut dengan hati  membeku, tidak bercahaya. Begitu ada tawaran atau kesempatan, langsung saja dijawab : “ Hayoooooooooo”. Soal resiko, itu belakangan. Pertanyaan yang agak susah untuk dijawab justru ketika diarahkan pada orang tua dalam menghadapi masalah ini. Menurut saya, adalah sikap yang kurang bijak menyalahkan perilaku seks bebas ini sepenihnya kepada pasangan yang menjadi ‘korban’.  Memang, pasangan pemuda/ remaja yang sudah akhil baligh, sudah bisa dimintai pertanggungjawaban atas segala sikap dan perilaku yang dipilihnya. Namun pasangan pemuda/remaja yang menjadi ‘korban’ pergaulan bebas itu juga merupakan indikasi kekurangberhasilan orang tua dalam mendidik dan membina kepribadian anak. Saya yakin, saiapa pun orang tua yang beradab tidak menghendaki anaknya terlibat dalam pergaulan seks bebas seperti di atas. Bahkan sebagian orang akan menanggapinya dengan emosional dan mencaci maki anaknya. Benarkah sikap demikian? Bagaimana sikap yang sebaiknya kita lakukan seandainya ada anak kita yang tanpa sepengetahuan kita ternyata salah gaul dan menjadi ‘korban’ pergaulan seks bebas seperti itu? Perlukah campur tangan orang tua terhafap anak-anaknya yang remaja bahkan mulai beranjak dewasa? Menyalahkan anak dan membiarkan anak yang menjadi ‘korban’ pergaulan bebas, menurut saya kurang bijak karena ibarat melepaskan panah dengan busur kea rah hutan belantara. Orang tua memang terbebaskan dari masalah namun tidak menyelesaikan masalah. Meski anak yang sudah remaja sudah bisa dimintai pertanggungjawaban atas pilihan sikap dan perilakunya, namun menerima kembali mereka dalam pangkuan keluarga, jauh lebih bijak. Ibarat menebus kekhilafan orang tua yang memang kurang berhasil mendidik dan membina anak-anaknya. Bukankah berbuat baik itu tak harusdibatasi oleh usia, bahkan tidak hanya terhadap anak dan keluarga, tapi juga lingkungan bahkan masyarakat luas. Akhirnya, untuk membangun pribadi dan keluarga yang berkualitas, memang memerlukan kepedulian semua anggota keluarga terus menerus. Seperti godaan untuk korupsi, yang ternyata juga bisa menggoyahkan ketahanan mental orang yang selama ini dikenal memiliki kepribadian tangguh selevel pejabat tinggi, tokoh masyarakat bahkan ustazd.. Nah, seandainya sudah terus berusaha dan berhati-hati tapi cobaan itu menimpa kita juga, bagaimana sikap yang akan kita pilih?*** Salam hangat dan tetap semangat Imam Subari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun