[caption id="attachment_38493" align="alignleft" width="333" caption="illustrasi"][/caption] Musim liburan tahun lalu, saya sempat jalan-jalan ke Kuala Lumpur bersama Zuhdan, pria keponakan saya yang kini telah menjadi warga Malaysia. Salah satu obyek wisata yang saya kunjungi adalah jalan Bukit Bintang, yang dikenal sebagai etalasenya Kuala Lumpur. Mirip Orchard Road nya Singapura atau Jalan Sudirman - Thamrin nya Jakarta. “Masih suka ngopi ya Pak Cik?” tanya Zuhdan. “Boleh juga, karena sudah lama saya tidak pernah ngopi,” jawab saya. Saya langsung menjelaskan kepadanya alasan saya menghentikan kebiasaan ngopi antara lain karena tidak mau penyakit maag yang saya derita kambuh. Di mata Zuhdan, saya termasuk pecandu kopi sekaligus perokok berat. Dia belum tahu kalau saya sudah berhasil berhenti merokok sejak delapan tahun lalu sehingga kebiasaan minum kopi pun sudah diganti teh hangat. Siang itu, kami nongkrong di tenda Starbuck Coffee di trotoar depan sebuah mall di Jalan Bukit Bintang. “Silakan di cicipi Pak Cik,” ujar Zuhdan setelah pelayan café menyuguhkan dua cangkir kecil kopi. “Kopi apa’an ini, kok cangkirnya cuma sebesar jempol tangan?” tanya saya terheran-heran. Maklum saya berasal dari kampung dan belum pernah minum kopi seperti ini. Kopi yang biasa saya minum, ya kopi tubruk atau kopi beli di kedai yang harganya seribu perak per cangkir itu. Sikap saya nampak lebih katrok seperti Thukul, saat kebingungan mencicipi kopi itu. “Mencicipinya bukan diminum Pak Cik, tapi cukup ditempel di ujung lidah.” jelas keponakan saya. Setelah saya cicipi, rasa kopi yang mirip pasta gigi warna hitam itu, memang betul-betul nendhang. Tak hanya di ujung lidah, tapi langsung merayap hingga ke ubun-ubun. Sumpah, baru kali ini saya menikmati kopi yang sensasi dan cita rasanya langsung merayap ke hingga ke ubun-ubun. Sambil menikmati kopi nendhang itulah, aksi ‘cuci mata’ berlangsung. Maklum, di trotoar jalan itu, banyak sekali turis asing dari berbagai belahan dunia, jalan-jalan sekaligus berbelanja di berbagai mal di sepanjang jalan Bukit Bintang. Ada yang jalan berkelompok dan ada pula yang berpasangan atau jalan sendirian. Turis yang berkunjung ke sini sangat beragam, mulai dari negara tetangga di Asia, Amerika, Eropa hingga Australia. Selain mengamati polah tingkah para turis asing itu, saya suka mengamati pakaian yang mereka kenakan. Selama ‘cuci mata’ itu, saya tak begitu tertarik dengan model pakaian turis Amerika maupun Eropa karena sering terlihat di televisi. Saya justru tertarik dengan model pakaian turis wanita asal India, yang mirip dengan busana Muslimah, yang juga dilengkapi kerudung panjang. Bedanya, ternyata model pakaian turis wanita asal India itu tidak menutup seluruh tubuh, tapi selalu nampak pusar dan perutnya. Model pakaian itu, nampak ada unsur erotisme di dalamnya. Mirip dengan erotisme busana tradisional wanita Jawa, yang dirancang setengah terbuka di bagian dada. “Kenapa heran dengan busana wanita India Pak Cik. Itu kan cukup sopan juga, meski mereka ketika [caption id="attachment_38498" align="alignright" width="300" caption="Jalan Bukit Bintang, KL"][/caption] berjalan terkesan mengenakan kerudung semba- rangan?” tanya Zuhdan . Bukan, bukan karena sopan tau tidak sopan, tapi model pakaian seperti itu mengingatkan saya dengan model pakaian para wanita Muslim pada awal Islam di Madinah. Pada masa itu, model pakaian seperti itu, tak hanya dikenakan wanita Muslim tapi juga para wanita pada umumnya, termasuk wanita tuna susila dan hamba sahaya. Mereka umumnya memakai baju dan kerudung, namun leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang mereka memakai kerudung, tapi ujungnya dikebelakangkan sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka. Kondisi ini digunakan orang-orang munafik untuk mengganggu para wanita itu, termasuk wanita Mukminah. Ketika ditegur terkait gangguan terhadap wanita Mukminah itu, mereka berkata :” Kami kira mereka hamba sahaya”. Perkiraan ini muncul karena saat itu identitas mereka sebagai wanita Mukminah tidak jelas. Dalam situasi demikianlah, turun petunjuk Allah kepada Nabi SAW dalam Al-Qur’an yang artinya : “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan atas mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal (sebagai wanita Musliman/ wanita merdeka/ orang baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab[33] : 59) Jilbab adalah baju kurung longgar yang dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Ayat ini dengan jelas memerintahkan agar wanita Muslimah mengenakan pakaian yang bisa membedakan mereka dengan yang bukan Muslimah dan memerintahkan agar jilbab yang mereka pakai hendaknya di ulurkan ke badan mereka. “Nah selain agar tidak diganggu orang jahat, apa lagi Pak Cik manfaat lain mengenakan busana Muslimah itu?” tanya Zuhdan, dengan nada agak serius. [caption id="attachment_38497" align="alignleft" width="300" caption="Simpang Jalan Bukit Bintang, KL"][/caption] Jelas ada. Busana Muslimah dapat menjadi penghalang dari godaan setan karena hanya setan yang senang melihat aurat. Maka saya jelaskanlah sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Al-Biqai dalam bukunya Shubhat Waraqah sebagaimana dikutip ahli tafsir M. Quraish Shihab berikut : Ketika Nabi Muhammad SAW belum memperoleh keyakinan tentang apa yang di alaminya di Gua Hira – apakah dari malaikat atau dari setan – beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya, Khadijah. Khadijah berkata,”Jika engkau melihatnya lagi, beritahulan aku.” Ketika di saat lain Nabi SAW melihat (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka pakaiannya sambil berkata,: “Sekarang, apakah engkau masih melihatnya?” dan Nabi SAW menjawab,”Tidak…dia pergi.” Khadijah dengan penuh keyakinan berkata,”Yakinlah, yang datang bukan setan…(karena hanya setan yang senang melihat aurat.” Keponakan saya mendengarkan kisah itu sambil manggut-manggut. “Untung pacar saya sudah mengenakan busana Muslimah ya Pak Cik,” katanya. Ya, tapi busana Muslimah yang dikenakan pacarmua itu kurang sempurna. Meski mengenakan jilbab, tapi sering bawahnya mengenakan baju atau T-shirt lengan pendek. “Nah seperti itu kan?” tanya saya sambil menunjuk seorang wanita pelayan coffee. Keponakan saya hanya menganggukkan kepala sambil senyum-senyum. Model busana seperti itu memang cukup mudah dijumpai di jalanan atau tempat-tempat umum di Malaysia. Nah tanpa terasa, lebih dua jam kami ngobrol sambil menikmati makanan kecil dan secangkir kopi nendhang yang citarasanya menembus hingga ke ubun-ubun itu. Kami pun melanjutkan perjalanan untuk makan malam dengan menu masakan kaki lima di pelataran Pujasera yang menjadi kesukaan saya setiap kali berkunjung ke KL. Yaitu sup Tomyam yang rasanya uenak dan begitu dicicipi langsung berkeringat. Dari wisata kuliner singkat, pengalaman menikmati kopi dan sup Tomyam yang rasanya sama-sama nendhang itu, hingga kini masih menjadi kenangan yang menyenangkan dan saya ingin mengulangi kembali. Sedangkan kisah tentang manfaat mengenakan busana Muslimah, juga menjadi kenangan berharga bagi Zuhdan, keponakan saya dan dia berjanji akan mengingatkan sang pacar yang segera menjadi istrinya, untuk mengenakan busana Muslimah dengan sempurna. Jika anda dari keluarga Muslim, tidakkah anda tertarik mengikuti jejaknya?*** Salam hangat dan tetap semangat Imam Subari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H