AnalisNews. Pati_ Opini _Â ddf- Sejak kapan penggunaan toa di masjid atau mushala dengan suara sangat keras? Â Di desa-desa, toa masjid juga menjadi sarana memberi pengumuman kegiatan kampung dan berita lelayu, selain aktifitas keagamaan. Ketika ada orang meninggal dan pengumuman secara kebetulan bersamaan, Â suara bersahutan itu justru menyebabkan pengumuman lelayu tidak terdengar siapa yang meninggal dunia.
Mengapa ada sekelompok masyataka yang sangat berhasrat dengan suara sangat keras dan berlebihan seperti ini ? Di luar urusan toa masjid dan mushala, di kampung saya ketika ada kegiatan kesenian jatilan misalnya, suara musik dan tembang yang khas juga sangat tinggi. Apa sebenarnya yang ingin ditunjukan dengan volume suara yang sangat keras itu? Mengapa harus sekeras itu? Dan ketika semua toa bersuara sangat keras, bukankah justru apa yang disuarakan tidak jelas dan hanya menyisakan kebisingan? (Pandemi memang membuat ruang udara lebih tenang.)
Ada yang mengatakan, "ya namanya syiar harus keras, harus sememangat..'. Pengkritik menggunaan frekuensi tinggi pengeras suara kadang dianggap tidak mendukung syiar. Bila benar untuk syiar, bukankah seharusnya membuat nyaman pendengaran semua orang, karena tuntunan syiar itu bil hikmah, dengan bijaksana. Apakah tindakan memaksa semua telinga untuk menanggung frekuensi suara sangat tinggi itu bijaksana?  Bila  membuat kuping seperti digempur suara dari banyak arah, masih bisakah disebut syiar?  Tipis sekali beda syiar dakwah  dan pamer Suara .
Lantas Apa yang sebenarnya diinginkan kaum  ditunjukan ke Ummat sebenarnya?
Di tiap lingkungan tertentu yang ada lansia yang kadang jadinya membuat mereka tampak payah  sulit tidur, ada bayi  baru lahir  atau orang sakit yang sangat membutuhka suasana tenang , di ganggu dengan si TAO itu . Belum lagi di banyak lingkungan juga ada warga penganut agama lain , selain Islam yang tidak berkepentingan dengan kegiatan agama yang tidak dianutnya, mau tidak mau terpaksa ikut menanggung  Suara  Kisruh tak berirama dengan ledakan  frekuensi suara tinggi itu  ?Â
Terkait dengan warga penggabut agama selain Islam  "puritan  yang sangat terganggu dengan berisiknya  corong TOA  ini Banyak Orang namun nggak berani ingatkan , saya sendiri sebenarnya terganggu pasalnya di sebelah rumah saya ada Musholla dengan delapan TOA, si sebelah barat rumah ada masjid dengan 18 Buah  TOA , di selatan rumah saya ada Musholla lagi dengan 4 Toa , lantas di Sebelah utara Rumah saya tak begitu jauh Mushollanya lagi  dengan 4 Toa , sungguh cukup memekakkan telinga terutama Mulai jam Tiga Pagi menghadapi Subuh.
Sebenrnya cukup sering mendengar Keluhan dari teman-teman yang jadi penceramah kadang menyidir keyakinan mereka bahkan tak jarang mengolok olok dan menghujat serta membikin gaduh dan gabut , atau Mereka tanpa Rasa secara  terang-terangan merendahkan pengenut agama lain dengan riuhnya di  Tao masjid itu , sesuatu yang sesungguhnya dilarang oleh Islam, ya tetapi bagaimana  , mereka ndableg dan enggak perduli , kamipun takut mengingatkan sehingga banyak tetangga muslim jadi tidak enak dan bahkan malu bila ada penceramah demikian, sangat tidak berbobot  dan berkwalitas . Jadi bukan hanya soal frekuensi saja yang jadi persoalan , kadang ada persoalan lainnya yang isinya justru lebih kejam  keras pada  singgungan Keyakinan yang berbeda.
Sekali lagi apa sih  sesungguhnya yang ingin ditunjukkan Para Pengecor Toa dengan frekuensi suara setinggi itu  , apakah  mengaji dan membaca kitab Suci tidak cukup  Internal masjid saja  dengan  pengeras Ruangan , tanpa nggemprong nggemprong , sitilahnya mblebegi Kuping  yang sudah pekak , ditambah jadi enggak enak di hati ? Berdoa dan mendaras Quran memang baik, namun tidak harus begitu caranya , bukankah Allah maha mendengar,maha mengetahu amal dan ibadah kita  dan yang disarankan justru melirihkan suara ketika berdoa dan mengaji atau Membaca Kitab Suci  ?.
Apa yang ingin ditunjukkan ? Mengapa membiarkan toa jadi sarana yang membuat tempat ibadah  kehilangan rasa pada orang lain?
Bukankah syiar justru harus berwujud kepekaan dan kepedulian pada kebutuhan semua orang yang kondisinya beda-beda?
Atau, apakah kesenjangan di mata petugas yang menghidupka n pengeras suara begitu dalam dan lebar sehingga di balik suara yang memekakkan telinga itu, bawah sadarnya mau mengatakan ,"  Cogito ergo Sum  alias aku ada lho, Onto logio ,  aku eksis lho , kalau enggak Aku nggak Bisa begini , terkdang malahan kaum Tua yang sudah sama sekali enggak Fasihk lagi .
Atau kita mengalami ketunaan Telingaan  dalam pendidikan tentang rasa  dan Toleransi ?
Ruang udara adalah milik bersama yang harus dijaga kenyamanannya, Bukan Wilayah kita sendiri .
 Apalagi  bagi kalangan yang bermaksud syiar, jangan sampai justru membuat masyarakat tidak nyaman. Ada kesehatan mental masyarakat yang harus dihormati juga..bila sungguh syiar, maka harus peka dan peduli pada semua orang, tidak hanya mematuhi tuntunan penggunaan pengeras suara yang dibuat oleh Dirjen Bimas Islam.