Mohon tunggu...
Subagus Indra
Subagus Indra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

move on, be brave!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Para Pencari Tuhan - 1] Diusir dari Rumah Sampai Dituduh Gelapkan Uang

28 Juni 2012   09:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:27 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Jangan pernah lagi kamu memanggil kami Papa dan Mama. Dan jangan lagi menginjakkan kaki di rumah ini!” seru Papaku sambil mengerutkan dahinya.

Kerutan itu hampir membuat mata beliau yang sipit terpejam total. Dengusan nafasnya sarat kemarahan. Tangannya menggenggam erat menahan emosi. Aku tak berani mendekat. Hanya menghela nafas berat yang bisa kulakukan.

Siang itu, di kediaman orang tuaku di Banyuwangi, aku tertunduk pasrah. Di sampingku ada Murti, calon istriku, yang waktu itu hendak kukenalkan pada Papa dan Mama. Namun, apa mau dikata, sambutan yang kuterima jauh dari harapan. Belum sampai duduk, lontaran keras itu buru-buru mendarat di telingaku. Akhirnya, aku dan Murti pun memutuskan untuk langsung pulang ke Surabaya, kota perantauanku.

Namaku Mochammad Feri Sugiono. nama depan Mochammad itu baru saja kusandang tepat saat aku telah resmi menjadi seorang muslim. Sebenarnya reaksi Papa bisa kumaklumi. Sebelumnya, beliau sudah tidak suka dengan keputusanku masuk Islam. Apalagi, kali ini aku membawa calon istri yang muslim juga. Tambah geramlah beliau jadinya.

Papa adalah orang yang teguh memegang adat leluhurnya, Tionghoa. Namun, sejak kecil aku sangat tidak suka jika diajak sembahyang di tempat ibadah Papa. Menurutku bukan sepantasnya manusia menyembah patung. Akhirnya, Beliau mengijinkanku memeluk agama lain, asal bukan Islam. Ayah tidak suka pada ajaran Islam karena beberapa aturannya berbeda dengan adat Tionghoa.

Aku pun rajin pergi ke tempat ibadah. Berharap mendapatkan secuil kedamaian di hati. Namun sayang hal itu tak pernah kudapatkan. Sampai akhirnya pada 2003 aku mengenal Islam. Di awal keislamanku aku belajar banyak hal. Merasakan kedamaian dan ketentraman.

Setelah menikah dengan Murti, pada 2005, aku mencoba terus meresapi ajaran Islam. Murti adalah sosok yang tak pernah berhenti memotivasi dan mengingatkanku untuk beribadah. Meski tak tahu bagaimana gerakan shalat, aku pun ikut shalat di mushala dekat rumah. Aku hanya mengikuti gerakan jamaah lain. Hingga sedikit demi sedikit aku mengerti hukum dan cara beribadah umat Islam. Dan terus belajar hingga saat ini.

Selama tiga tahun berlalu, sebenarnya aku tak pernah menyerah memohon restu pada orang tua. Aku mencoba memberanikan diri kembali lagi ke Banyuwangi. Kali ini aku membawa anak pertamaku yang waktu itu berusia tiga tahun. Marsya namanya. Kali ini aku benar-benar menyiapkan mentalku. Dan kemungkinan untuk diusir lagi telah bersarang di pikiranku.

“Siapa anak yang kau bawa itu?” tanya Papa. “Ya, ini Anakku, Pa,” jawabku ringan. Sontak Papa pun memeluk Marsya, mengelus rambutnya, dan mencium pipinya berulangkali. Aku bisa merasakan haru yang menggelayuti sanubari Papa. Hatinya pun luluh. Beliau ingin kami tinggal lebih lama di Banyuwangi, dan pulang lagi saat lebaran tiba.

Rasa bahagia tak terkira mengerubuni hatiku. Akhirnya aku mendapatkan restu perkawinan dari orang tua. Beberapa tahun setelahnya Allah menganugerahkan kehidupan yang lebih nyaman bagiku. Aku bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan penyedia barang-barang teknik. Dan Allah juga mengaruniaiku seorang anak lagi. Sungguh berkah yang luar biasa.

Berkah Shalat Tahajut

Tetapi, sebagai bentuk sayang-Nya padaku, Allah juga menurunkan ujian-Nya. Beratnya ujian yang terjadi setahun lalu itu akan kuingat sepanjang hidup. Waktu itu malam telah mencapai puncaknya. Sedangkan aku masih mengenakan baju yang sama seperti dua hari lalu. Sudah dua hari itu aku duduk tak berdaya di salah satu ruangan di kantorku. Tak ada minuman, atau bahkan secuil makanan.

Aku tak sendirian, ada dua orang polisi yang mondar-mandir menjagaku. Mereka melarangku pergi meninggalkan ruangan, walau sejengkal saja. Perusahaan menuduhku telah menggelapkan uang senilai Rp 75 juta. Dalam ‘tahanan’ itu aku dituntut agar segera mengembalikan seluruh uang tersebut saat itu juga. Pikirku hal itu mustahil kupenuhi.

Aku bingung bukan kepalang. Kuhubungi istri dan saudara dekat, tapi tak ada bantuan besar yang bisa diberikan padaku. Akhirnya, dalam kegundahan itu kudirikan shalat tahajut, berpasrah pada Allah atas segala keputusan-Nya. Subhanallah, setelah itu kurasakan sebuah keajaiban luar biasa. Tiba-tiba di kepalaku muncul nama-nama teman yang harus kuhubungi. Kuyakin ini adalah campur tangan Allah.

Segera kuhubungi mereka satu per satu melalui ponsel, lalu menjelaskan duduk permasalahan yang kualami. Alhamdulillah atas izin Allah, mereka mau meminjamkan uangnya, sampai akhirnya genap terkumpul Rp 75 juta. Air mataku mengalir deras, rasa tak percaya dan syukur campur aduk menjadi satu.

Kejadian itu semakin meneguhkan kepercayaanku terhadap Allah. Aku yakin bahwa sebenarnya Allah tidaklah tidur. Semoga keyakinan ini dapat kujaga hingga akhir hayat, kemudian kutularkan pada orang-orang terdekat, termasuk kedua orang tuaku. Ya, semoga. Amin. naskah: subagus indra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun