Mohon tunggu...
Subagus Indra
Subagus Indra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

move on, be brave!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memotret Udang di Balik Kontes Foto

6 Agustus 2013   14:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:34 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="700" caption="Source: ist."][/caption] Pernah baca poster atau woro-woro lomba fotografi? Dalam tiga bulan terakhir ini sudah berapa kali Anda menemuinya? Jawabannya mungkin sangat sering bagi Anda yang bergabung dalam milis atau grup jejaring sosial fotografi. Kebanyakan sayembara itu diselenggarakan oleh instansi pemerintahan, perusahaan swasta, komunitas fotografi atau bahkan perusahaan media. Tujuannya bermacam-macam, sekadar untuk pagelaran event rutin, sampai perayaan hari ulang tahun perusahaan. Lalu hadiahnya? Dari yang cuma trofi dan sertifikat sampai uang ratusan juta rupiah. Pertanyaannya, kenapa harus lomba foto? Foto lebih dari sekadar karya seni. Dalam format panjang kali lebarnya, foto mempunyai kekuatan terpendam yang menjelaskan sebuah fenomena. Format dua dimensinya merekam sebuah peristiwa dan menjadikannya abadi, seperti istilah yang sering ditemui dalam komunitas fotogafi; One second can be a moment forever. Benar, satu detik saja bisa menjadi momen yang sungguh prestisius dalam mengabadikan peristiwa. Jika kita kehilangan satu detik dalam menekan sutter, maka hilang sudah momen spesialnya, seperti ekspresi tawa lepas, sedih, pukulan, kecelakaan, ataupun luncuran mortil pistol. Contohnya, pernah lihat foto Albert Einstein yang menjulurkan lidahnya? Kita bicara citra suatu objek yang mampu diciptakan oleh sebuah foto. Dari foto tersebut kita dapat menangkap makna bahwa di tengah kejeniusan Einstein dalam menemukan teori relativitas, ternyata ia juga sosok yang jenaka. Itu berkat kejelian fotografer dalam menangkap momen. Bisa dibayangkan jika foto tersebut tak pernah diambil, mungkin kita akan mengira bahwa orang jenius harus selalu serius dan mengerutkan dahi. Layaknya lukisan, foto mampu mencitrakan banyak hal. Dengan komposisi dan elemen-elemen pendukung di dalamnya, foto bisa menjelaskan hal-hal yang berada di luar foto. Dari foto Einstein di atas, misalnya, kita dapat mengambil makna bahwa setiap orang pasti memiliki sisi-sisi kejenakaan. Tak terkecuali orang dengan IQ tinggi sekalipun. Meski pada kenyataannya, kita tidak benar-benar tahu apakah Einstein memang sosok pemilik selera humor yang baik. Selain komposisi dan elemen foto, sudut pandang atau angle pengambilan foto juga bisa menjadi faktor yang dapat mempengaruhi interpretasinya. Ada beberapa angle dalam fotogafi, dan masing-masing darinya memiliki guna sendiri-sendiri. Misalnya low angle, memotret dari sudut pandang yang lebih rendah dari objek foto, akan menghasilkan foto-foto yang mengsankan kegagahan, kemegahan, besar dan wibawa. Lain halnya dengan high angle, sudut pengambilan gambar yang lebih tinggi dari objek foto ini dapat menghasilkan gambar dengan kesan minoritas dan terjajah. Nah, menurut pemahaman saya yang dangkal ini, citra hasil foto itulah yang diminati para penyelenggara lomba fotografi. Foto mempunyai kesatuan pesan yang mengejawantahkan imaji. Biasanya penyelenggara lomba membuat tema-tema khusus untuk perlombaan foto. Seperti kemanusiaan, lingkungan, kebebasan HAM, kesetaraan gender atau perlindungan anak, dll. Selain untuk mempermudah peserta lomba, tema-tema tersebut sengaja dibuat sesuai dengan tujuan penyelenggara. Lalu pertanyaannya kenapa harus tema seperti itu? Bukan rahasia lagi, fenomena seperti itu rupanya begitu mudah dijepret di negeri kita. Dan beruntungnya lagi, hati orang mana yang tidak tergugah ketika melihat potret kehidupan masyarakat yang menyentil soal tema-tema di atas? Dalam tataran ini, nilai human interest menjadi sangat penting dalam sebuah foto. Di luar hal itu, dalam penyelenggaraan lomba, skema yang dipakai panitia biasanya sama, peserta wajib mengumpulkan soft file foto dengan resolusi besar. Kemudian pihak penyelenggara akan mengambil hak guna seluruh foto yang masuk ke meja panitia, dengan catatan hak cipta tetap milik fotografer. Kenapa ketenteuan seperti itu diberlakukan? Bisa ditebak, panitia penyelenggara ingin menggunakan foto yang masuk untuk kepentingan khusus. Misalnya seperti materi publikasi, pembuatan souvenir atau merchandice perusahaan, company profile, bahkan yang lebih jauh untuk pencitraan kepada masyarakat. Dengan materi foto yang mengandung kemanusiaan, lingkungan, kebebasan HAM, kesetaraan gender atau perlindungan anak, dll, perusahaan yang bersangkutan akan sangat mudah menggunakan untuk menunjukkan pada masyarakat jika perusahaannya mempunyai perhatian khusus terhadap isu-isu sensitif tersebut. Meskipun kita tidak benar-benar tahu apakah perusahaan yang bersangkutan itu memang mempunyai perhatian terhadap kemanusiaan, lingkungan, kebebasan HAM, kesetaraan gender atau perlindungan anak dll. Dan yang lebih anehnya lagi, kenapa hak guna diakuisisi oleh penyelenggara? Secara logika, aturan itu sebenarnya mengandung pertanyaan besar. Untuk apa hak cipta tetap menjadi milik fotografer kalau si penyelenggara bebas seenak udelnya menggunakan foto tanpa kompensasi khusus terhadap si fotografer. Ya, syukur-syukur kalau foto yang digunakan itu cuma foto-foto pemenang yang sudah mendapat imbalan hadiah. Lha, buat foto lain yang tidak menang? Panitia bisa menggunakan foto-foto seluruh peserta tanpa memberi imbalan. Semoga perlombaan foto kita akan berinstropeksi diri. Membuat aturan main yang jelas. Lebih menghargai karya orang. Dan jujur dalam bertindak. Subagus Indra

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun