'Apakah kau percaya dengan jodoh?'
'Aku percaya karena jodoh yang membuat kita bisa bertemu dan merasakan cinta seperti sekarang ini.'
Aku masih mengingat setiap kata itu, kata yang kau ucapkan saat aku memberanikan diri mengungkapkan rasa yang selama ini aku pendam untukmu. Dan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, mungkin tak akan pernah kulupakan saat kau mengatakan kau mempunyai rasa yang sama untukku. Betapa indah hari itu, saat akhirnya untuk pertama kali aku merasakan cinta yang benar-benar cinta, bukan lagi cinta yang hanya bisa bersembunyi di balik senyumanku dan membiarkan cintaku mencintai orang lain. Hari di mana aku bisa berjalan menggandeng tanganmu tanpa ada rasa sungkan lagi.
Tapi apakah aku masih bisa menganggap ini jodoh?
Sebulan setelah kita bersama aku mengetahui fakta yang sebenarnya dari bibirmu.
"Ada wanita lain selain kamu dalam hidupku, cinta. Dan dia telah lebih dulu mengisi hidupku."
Apa kau tahu bagaimana hancurnya diriku. Aku merasa aku benar-benar rendah saat itu, saat mengetahui aku hanyalah wanita keduamu, kalu tidak mau dibilang 'aku selingkuhanmu'. Aku merasa aku bagaikan pelarianmu, saat kau t'lah merasa bosan dengan wanita itu. Sungguh menyakitkan.
"Apakah kita masih bisa bersama , cinta? karena aku sangat mencintaimu."
Aku tak pernah menjawab pertanyanmu itu dengan tegas ku kira. Hingga akhirnya kuputuskan aku harus meninggalkan dirimu, meninggalkan cintaku mencintai cintanya yang lain. Aku harap itu sebuah konklusi yang paling tepat untuk hati kita, aku, kau dan dia yang sebentar lagi akan terluka.
Aku menjauh, sejauh mungkin. Aku buat bentengku sendiri dari dirimu, dari cintamu. Aku menghapus nomor teleponmu dari kontak HP ku, agar tanganku tidak gatal mencoba menghubungimu lebih dulu. Aku memblokir akun jejaring sosialmu agar kau tak bisa menghubungi diriku lagi. Yang pasti aku menyiksa diriku sendiri karena itu. Bayangkan bagaimana sakitnya menahan perasaan yang begitu berkecamuk dalam dadaku.
Tapi pertahananku hancur sia-sia saat kau menghubungiku malam itu, kau bilang kau sakit. Apa kau pikir aku akan tega melihatmu terkapar tak berdaya? Aku tak sekejam itu, aku masih mau merawatmu, walaupun aku tak berniat menjengukmu, cukup hanya dengan mengirimkan pesan-pesan singkat mengingatkanmu makan dan minum obatmu.