Semenjak mentari menggigit bibir bumi
Ketika nafsu para serdadu menggeliat memasung Sang Kebenaran
Kami duduk menangis
Di sini
Di jalan terjal berkerikil
Dengan buah hati yang merengek meminta kasih
Debu-debu kejahatan menyelinap pada tubuh-tubuh perkasa yang haus darah
Air mata mengalir pada ceruk mata peziarah 'aletheia'
Mata-mata kerahiman terpancar dari wajah para suci
Tiada yang lebih indah dari pemandangan wajah berlumur darah
Kami ingin menabur rindu di bibir jalan ini
Kami ingin mengaduk adonan cinta yang lezat untuk sang kekasih yang malang
Kami ingin menyumbang satu senyuman yang tulus meski sakit
Kami ingin menabur mawar-mawar doa di hadapan Sang Kebenaran
Kini segala rindu yang kami simpan di dalam dompet membusuk
Hancur bersama mentari yang akan pamit
Saat anakku memberi kecup pada kening yang sudah dibabak belur
Malah ia memberi sekantong senyum penuh tulus dan berkata:
"Jangan menangisi Aku, tetapi tangisilah dirimu sendiri"
Clausura, Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H