Kala itu, di jalan tua masih terlihat sunyi, semuanya hilang entah kemana. Burung cuit dikoridor yang biasanya bersiul membangkitkan semangat warga untuk beraktivitas menghilang tanpa jejak, seakan bumi tanpa penghuni.
Dipinggir jalan, aku bersama tetesan alkohol masih bersahabat menanggung beban. Seolah bir ditangan memberi solusi realistis atas problem kehidupan ini. Memang bersahabat dengan bir adalah solusi terbaik bagiku karena dibumi ini  tak ada manusia normal yang memberi solusi atas semua persoalan yang aku hadapi.Â
Suatu hari, bunyi lonceng menembus telingaku seakan memanggil warga untuk beribadat pada sang khalik mengungkapkan keluh.Â
Akupun bergegas menuju arah bunyi lonceng sambil memeluk bir di tangan, baju robek, dan kaki kosong mencari identitas dalam Tuhan akan janji keselamatan.
Disana, Gedung gereja berdiri kokoh, berkilau nan indah. semua manusia bersih, dengan memakai jas, sepatu dan livtik. Mereka bagaikan para malaikat yang berkilau menyambut sang kuasa. Mereka seakan tanpa keluh dan dosa memuji Tuhan, tanpa memandang sesama sebagai sahabat. Pikirku, aku berada disurga yang semua orang menanti agar bebas dari Problematika kehidupan.
Aku menuju ke Gedung itu sambil memegang bir untuk mengungkapkan keluhku yang selama ini aku sembunyikan dengan sebotol bir agar Tuhan mengabulkan. Disana semua orang memandangku seolah marah, mereka meludahi ku, membuang ku tanpa belas kasih. seakan Gereja hanya mencari yang sempurna dan suci.
Disitulah aku sadar bahwa Gereja yang kini dibangun dalam kemegahan, kemewahan, dan kenyamanan membelenggu pikiran manusia untuk mencari yang sempurna tanpa berkorban demi cinta kasih.
Penulis Anton tebai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H