SUARAAGRARIA.com, Jakarta: Selama ini sengketa pertanahan, kalau mediasi buntu, diselesaikan lewat jalur peradilan umum. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah, peradilan umum itu mahal, lama dan selalu mengedepankan bukti otentik tertulis. Walhasil banyak sekali kasus pertanahan yang tidak selesai-selesai. Harus ada peradilan khusus pertanahan.
Demikian dipaparkan Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/Juru Bicara BPN RI, dalam menyambut Hari Tani Nasional, Hari Agraria Nasional dan Ultah Konsorsium Pembaruan Agraria, di Jakarta Pusat (27/9).
“Nantinya dalam peradilan khusus itu hakim-hakimnya diisi oleh orang-orang yang harus paham dalam bidang pertanahan, filosofi teori-teori latar belakang keluarnya suatu peraturan,” ujar Toha.
Sayangnya, lanjut Toha, wacana pembentukan peradilan pertanahan masih belum mendapatkan penerimaan yang positif. “MA saja keberatan dengan adanya pengadilan pertanahan, menurut MA peradilan saat ini sudah berjalan sangat bagus,” tukasnya.
Toha terus terang tidak sepakat dengan MA (Mahkamah Agung). Menurutnya, kalau sudah bagus, tentu kita tidak akan memintanya. “Kita kan bukan orang kurang kerjaan bikin-bikin peradilan baru,” katanya.
Lalu Toha mencontohkan kelahiran KPK. Lembaga itu muncul karena instansi yang ada selama ini kurang efektif. Nah, hadirnya peradilan pertanahan juga begitu, karena pengadilan yang ada juga belum maksimal.
“Begitu juga ide lahirnya peradilan pertanahan, karena banyak kasus pertanahan tidak selesai-selesai. Kita harapkan final decission ada di pengadilan, ternyata pengadilan kadangkala dalam satu perkara putusannnya macam-macam,” keluhnya.
“Di PTUN si A yang menang, nanti di (Pengadilan-red) Pidana malah si A yang jadi terpidana, lalu di perdata A kalah lagi. Lalu kita mau jalankan yang mana, BPN bingung sendiri mau melaksanakannya gimana, kalau begini kasus pertanahan di Indonesia ini gak akan selesai-selesai,” terangnya.
Makanya lewat RUU pertanahan yang sedang dibahas, BPN RI mengusulkan supaya ada peradilan pertanahan yang merupakan bagian dari peradilan umum, adhoc. Kemudian prosesnya bisa berlangsung dengan cepat, yaitu hanya PN dan MA. Waktunya pun dibatasi, dan alat-alat bukti yang dipakai tidak hanya yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis.
Selama ini, lanjut Toha, penyelesaian sengketa pertanahan bertele-tele, ada empat tingkat dan selalu ada PK. Juga tidak berpihak kepada nilai-nilai yang dianut masyarakat kita, hukum acaranya membutuhkan bukti-bukti otentik tertulis.
“Sedangkan masyarakat kita lebih mengutamakan bukti tidak tertulis. Kalau tidak bersengketa dipastikan yang menang yang punya bukti tertulis. Kalau dulu Belanda lah yang memilikinya, kalau sekarang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi dan perusahaan-perusahaan,” pungkasnya.