Mohon tunggu...
Suara Semesta
Suara Semesta Mohon Tunggu... -

Penulis biasa, Pengamat biasa, Penyuka diskusi, Penyuka kritik dan Penyuka kebebasan berekspresi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Duh, Terjepit Elpiji

9 Januari 2014   12:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13892461311628720207

[caption id="attachment_289207" align="aligncenter" width="300" caption="KONTAN/MURAD/murad"][/caption] Nasib Pertamina Terjepit Gas

Awalnya saya tak begitu tertarik mengikuti berita-berita seputar harga gas elpiji. Sebab bagi saya komponen elpiji tak begitu signifikan dalam pembiayaan rumah. Satu tabung besar 12 kg itu biasanya bertahan sampai 3 bulan.

Tapi saya ikutan tertarik mencermati perkembangan elpiji ini melihat perkembangan isunya yang menghangat. Bayangkan, masalah barang yang biasa ada di sudut dapur itu dibicarakan tetangga hingga menteri dan presiden. Ada apa dengan elpiji?

Jual Rugi Elpiji

Coba dirunut dari awal. Setelah baca-baca sekilas, baru tahu ramai-ramai elpiji berawal dari keputusan Pertamina yang membuka tahun ini dengan menaikkan harga elpiji 12 kg.  Berapa kenaikannya? Terhitung mulai 1 Januari 2014 pukul 00.00 Pertamina memberlakukan harga baru elpiji non subsidi kemasan 12kg dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp3.959 per kg. Jadi naiknya sekitar Rp 12 ribu. Dengan harga baru tersebut, rata-rata harga elpiji 12 kg bakal mencapai sekitar Rp 117,708 per tabung. Yah, di warung depan komplek paling jadi sekitar Rp 120 ribu.

Alasan menaikkannya masuk akal, karena dipicu kenaikan harga pokok dan pelemahan rupiah. Halo, gas kan dominan impor. Jadi, harga yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp5.850 per kg, sedangkan harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp10.785 per kg. Selama ini Pertamina menanggung selisihnya alias jual rugi. Akumulasi nilai kerugian mencapai Rp22 triliun dalam 6 tahun terakhir. Bisnis macam apa itu, kok mau?

Sebentar mencermati posisi elpiji 12 kg, saya jadi gagal paham. Elpiji istilah resminya adalah LPG, singkatan dari Liquefied Petroleum Gas, gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya. Elpiji berasal dari pengolahan minyak dan gas bumi (migas) dan hasil pengolahan lapangan pada kegiatan usaha hulu (tambang) migas.

Ada dua jenis pengguna elpiji yakni pengguna elpiji tertentu dan pengguna elpiji umum. Pengguna elpiji tertentu adalah konsumen rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan elpiji kemasan 3 kg. Sedangkan pengguna elpiji umum merupakan konsumen yang menggunakan elpiji kemasan 12 kg, tabung 50 kg, dan/atau dalam bentuk kemasan lainnya atau dalam bentuk curah (bulk), serta konsumen elpiji sebagai bahan pendingin.

Soal harganya, elpiji 3 kg diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Pertamina tidak mempunyai kewenangan mengatur harganya, karena menjadi kewenangan Menteri ESDM. Konsekuensinya, pemerintah memberikan subsidi.

Ini beda dengan elpiji kemasan tabung 12 kg yang tidak mendapatkan subsidi, kebijakan naik atau tidaknya merupakan kebijakan korporasi. Produk tersebut juga untuk kalangan menengah ke atas. Jadi, saya paham kenapa Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg. Satu biar nggak rugi terus, kedua ya memang tidak dilarang. Nah!

Terjepit Gas

Dengan kenaikan harga elpiji itu lumayanlah Pertamina bisa menekan kerugian. Meski demikian dengan harga itu Pertamina masih jual rugi kepada konsumen elpiji 12 kg. Perusahaan pelat merah itu masih menanggung selisih harga sebesar Rp 2.100 per kg. Namun upaya menekan kerugian dengan mengembalikan harga elpiji yang normal ini tidak berjalan mulus. Kenaikan harga elpiji 12 kg ini ditentang khalayak luas. Presiden dan menteri terkait pun sepertinya khawatir penolakan ini menjadi bola liar. Maklum lah kalau pemerintah doyan pencitraan mulu. Seperti kita tahu, tekanan ke Pertamina pun begitu kencang. Singkat kata, kenaikan pun direvisi tidak sebesar rancangan semula. Menindaklanjuti hasil Rapat Konsultasi Pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dihadiri oleh Pertamina, maka Pertamina secara resmi merevisi kenaikan harga Elpiji Non Subsidi 12 kilogram menjadi sebesar Rp 1.000 nett per kilogram, sehingga kenaikan harga per tabung non subsidi 12 kilogram rata-rata Rp.14.200,- per tabung. Dengan demikian harga per tabung Elpiji non subsidi 12 kg di tingkat agen menjadi berkisar antara Rp.89.000,- hingga Rp 120.100,-  (tergantung lokasi) terhitung mulai 7 Januari 2014, pukul 00.00 WIB. Artinya Pertamina masih akan jual rugi elpiji 12 kg. Pertamina pun telah mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan tahun 2014 yang menyangkut proyeksi kerugian bisnis elpiji 12 kg, bertambah menjadi sebesar USD 0,51miliar atau sekitar Rp5,4 triliun dengan asumsi kurs Rp.10.500 per USD. Proyeksi pertumbuhan profit turun dari 13,17 persen menjadi 5,65 persen. Sampai sini saya udah ngeh peta-nya. Yang jelas Pertamina masih akan merugi terkait elpiji. Bagaimana ya, ini yang saya masih belum paham. Namanya perusahaan kan harusnya didorong untuk mengejar profit tinggi dan menekan kerugian. Tapi prinsip itu sepertinya tidak berlaku untuk Pertamina, di soal elpiji 12 kg ini. Saya sering baca orang kerap membandingkan Pertamina dengan Petronas –Pertaminanya Malaysia. Dulu Petronas belajar ke Pertamina, tapi selanjutnya jauh lebih maju. Belajar dari kasus harga elpiji ini, saya jadi tidak heran kenapa itu bisa terjadi. (HRB/PDA)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun