Mohon tunggu...
Suaib Prawono
Suaib Prawono Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja sosial di jaringan GUSDURian

Bukan siapa-siapa, hanya penikmat kopi dan makanan khas Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Bersesama

4 September 2024   15:17 Diperbarui: 4 September 2024   15:27 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


"Kita akan sulit hidup bersesama jika kita tidak bisa saling mendengar". 

Kalimat ini muncul dalam benak saya setelah membaca artikel Bapak Mujiburahman yang dipublikasikan di banjarmasintribuntimur.com pada 20 Mei 2024.

Artikel berjudul "Seni Memahami Sesama" ini membahas fenomena gaya hidup modern yang semakin menggerus empati terhadap orang lain. Seringkali, saat berinteraksi, perhatian kita teralihkan oleh smartphone, bukan pada lawan bicara. Akibatnya, perjumpaan kita terasa hampa karena komunikasi tidak didasari oleh kehadiran dan kesadaran penuh. Kita hidup dalam keadaan di mana yang jauh terasa dekat, dan yang dekat terasa jauh.

Dalam konteks ini, kita tampaknya tidak benar-benar serius dalam berjumpa. Perjumpaan sering kali berakhir dengan kesunyian, mirip dengan sepasang suami-istri yang tinggal bersama tetapi tidak bertegur sapa, meskipun secara fisik mereka berada dalam satu rumah, mereka sebenarnya tidak sedang hidup bersesama.

Dalam konteks sosial, fenomena ini dapat memicu kesalahpahaman karena seringkali kita tidak merespons dengan rasional, melainkan dengan asumsi dan perasaan sinis, yang sering disertai kebencian dan dendam. Menurut Mujiburahman, kita sering kali salah paham atau "berpaham salah" tentang orang lain karena menganggap orang lain sama persis dengan diri kita. Padahal, setiap individu memiliki keunikan masing-masing.

Ketidakmampuan untuk mengenali ego diri juga menjadi penyebab respons negatif kita terhadap orang lain. Kita ingin dipahami tetapi seringkali tidak bersedia untuk memahami orang lain. Membandingkan dan menyamakan diri dengan orang lain bisa memicu kendengkian, dan tentu saja hal ini cukup berbahaya karena bisa membutakan hati dan pikiran kita dari keadilan.

Oleh karena itu, mendengarkan dengan empati tidak hanya membantu kita memahami orang lain, tetapi juga mengajarkan kita untuk merespons dengan bijaksana. Saling memahami akan menciptakan rasa saling percaya. Sebagaimana diungkapkan oleh budayawan Sulsel, almarhum Ishak Ngeljaratan, saling memahami lahir dari hidup bersesama, bukan sekadar hidup bersama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun