INDONESIA sedang dilanda politik kemasan, lewat pemberitaan media -- peneliti dan segelintir pengamat politik, yang kehilangan independensi, kecerdasan dan akal sehat. Salah satu dari begitu banyak indikasinya, tampak proses pengemasan citra para actor capres.
Mencermati sikap dan retorika para tim pemenangan masing-masing pasangan calon pemimpin bangsa, dari sudut pandang imagineering (rekacita), setidaknya kita dapati tujuh (7) faktor negatif yang melekat pada mereka sebagai negative energizer untuk merusak masyarakat. Yakni: kesengajaan merendahkan orang lain (terutama lawan politik), resistensi terhadap kritik yang dianggap merusak citra, mendorong opini (secara penetratif hipodermis) untuk menafikan nalar khalayak, memaksakan kehendak dan impian dengan beragam cara, mendiskreditkan anak buah dan rakyat, deframe kemampuan kompetitor untuk menunjukkan diri sebagai superhero, dan tidak konsisten (ingkar pendapat) yang pernah dikemukakannya.
Karena kondisi demikian, bangunan demokrasi indonesia selalu cenderung memutar balik realitas. Misalnya, mengesankan seolah-olah dirinya korban rasisme, padahal dia sendiri yang rasis dan secara sadar mengembangkan rasialisme. Dengan cara ini dia dapat menjadi pemicu terjadinya friksi dan konflik sosial. Dengan kepribadian tersebut, kemasan demokrasi mudah menuding orang dan kelompok lain sebagai fundamentalis untuk menutupi fundamentalisme paradoksal yang melekat pada dirinya.
Gangguan neuropolitic juga memicu ada kelompok yang mudah mengklaim kejujuran, padahal belum terbukti dia jujur, seperti dia mengklaim seolah-olah kelompoknya tidak korupsi, tetapi memberi peluang bagi lingkungan sosial terdekatnya untuk melakukan tindakan koruptif.
Dalam situasi demikian, dia mendorong atau menciptakan situasi agar kelompokya selalu menjadi pusat perhatian dalam polemik dan perdebatan sosial, dari berbagai sudut pandang. Terutama, karena mereka sadar, dalam konteks relasi -- korelasi sosial, lingkungan pemerintahan dan masyarakatnya masih terikat oleh sistem -- yang menurut Geerzt -- patron client relationship di lingkungan birokrasi, dan traditional authority relationship di lingkungan sosial. Dengan memanfaatkan pola relasi korelasi semacam itu, Ahok akan sangat mudah 'melempar kambing' persoalannya kepada bawahan atau masyarakat.
Dalam situasi seperti itu, para pendukung dan orang-orang yang menghendakinya menjadi pemimpin, memanfaatkan demokrasi sebagai alat politik untuk melihat social polar map dengan suntikan-suntikan isu tentang globalisasi, pluralisme dan liberal multikulturalisme (seperti teori Terri Murray).
Pernyataan-pernyataan seperti "Islam dan Bukan Islam secara sadar dilakukan untuk memicu friksi sosial. Karena, setiap terjadi friksi sosial, dia akan mengais keuntungan bagi kepentingan pencitraannya.
Efek yang dia kehendaki dari sikap dan ucapan semacam itu adalah memasukkan ke dalam pikiran semua orang, bahwa multikulturalisme pluralis mentolerir pluralitas budaya. Dan ternyata, para pendukung masing-masing capres harus setengah mati meyakinkan semua orang dengan berbagai cara (termasuk ada kyai pendukungnya yang mengutip ayat-ayat al Qur'an untuk melakukan pembenaran). Terutama, karena sangat banyak kelompok masyarakat Jakarta, terlepas dari mindset frame (kerangka tata fikir) politik mereka.
Kelompok-kelompok sosial penentang di media sosial yang kian besar, justru melihat, apa yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang menjijikkan. Terutama, karena kebijakan-kebijakan tidak bijaksana yang dia lakukan terhadap kelompok-kelompok masyarakat kebanyakan, seperti di Pasar Ikan. Karenanya, isu Luar Batang, isu penafian fungsi RT/RW, dan lainnya akan menjadi simpul pemersatu masyarakat melakukan perlawanan.
Meminjam pandangan Frank Miller, kita membutuhkan sang ksatria yang menggerakan perubahan sosial kongkret. Bukan hanya doll of changes, boneka perubahan dari berbagai kepentingan kekuatan ekonomi dan politik yang tak nampak. Menurut teori Lukes, menjelaskan pendekatan kekuasaan di balik kepentingan para pengusaha properti, akan menguak kebusukan. Terutama, ketika route map penguasaan otoritas seorang pemimpin berjiwa labil dan kehilangan empati, terkuak satu-satu.
Belakangan dan paling mutakhir, pembelokan arah politik untuk memainkan dinamika pilpres melalui jalur partai politik, secara eksplisit menunjukkan mereka sebagai manusia ambivalen. Ekspresi kepribadian yang sangat berbahaya ketika memiliki kekuasaan besar.
Perasaan yang membuat seseorang asyik dengan perasaan sendiri, seolah-olah dirinya positif. Merasa jujur dengan ketidakjujurannya, merasa bersih dengan kekotorannya, karena memandang dirinya terbaik. Semua itu harus dikembalikan pada roh konstitusional di Negara kesatuan republic Indonesia Untuk Bertarung dengan mengutamakan nilai daripada hoaks yang merajalela demi kepentingan Bangsa dan Negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H