Pertama kali ke Irian Jaya (sebutan untuk Papua tahun 1983) adalah ketika transit di Biak. Aku dan kakakku saat sementara duduk di ruang tunggu ada seorang bapak bertanya mau ke mana, dik? Kakakku menjawab mau ke Irian. Jawaban itu balakangan baru terasa lucu setelah belajar peta buta. Dari Biak, aku, 3 saudaraku, juga kedua orangtuaku menuju Jayapura. Dalam perjalanan dari Bandara Sentani menuju rumah dinas ayahku di jalan Nirwana, keindahan yang aku lihat dari atas pesawat menjadi semakin dekat. Dulu Jayapura belumlah seramai sekarang, apalagi Sentani. Ayahku tentara angkatan darat. Kami anak-anak beliau harus rela ikut dari ikut satu dengan kota lain. Begitu direncanakan kami akan pindah ke Irian, sebagai anak SD kelas V, tanggapanku saat itu bercampur aduk. Aku masih ingat, dalam berlembar-lembar buku harianku aku menulis “I love Irian Jaya” yang menunjukkan saat itu aku begitu senang pindah ke Irian. Pindah dalam benakku adalah sebuah petualangan seru saat itu.
Keseruan ini ternyata tidak berhenti dalam buku harian. Di sekolah yang baru, aku menginjak kelas VI. Karena ayahku tentara aku disekolahkan di sekolah milik yayasan TNI. Mengapa seru?saat itu setiap aku ke sekolah ada bis yang persis menunggu di depan rumah. Mungkin karena sejumlah guru dan kepala sekolahnya, bapak F.X. Tugimin rumahnya persis di belakang rumahku. Ke sekolah selalu menjadi sebuah kegiatan yang mengasyikkan kala itu, karena ada bis. Di dalam bis ada banyak teman. Karena ada juga guru-guru bahkan kepsek, jadi hubungan kami sangat akrab. Malah ada yang sangat menyenangkan lagi, kalau terlambat masuk sekolah tidak akan pernah dihukum. Ya iyalah, kepseknya juga sama-sama naik bis (he he he). Tadinya aku pikir sekolah baruku ini tidak lebih dari sekolahku di Bandung (Bandung gitu loh). Tetapi pendapatku ini berubah 180 derajat.
Aku ditempatkan di kelas VI-B, wali kelasku bapak (almarhum) Intan Perutu. Pak Intan rumahnya persis di depan rumahku. Sesekali beliau sama-sama naik bis, namun lebih sering dengan motornya. Hari pertama masuk sekolah adalah pelajaran Bahasa Indonesia, dan ada tes pula. Entah mengapa jika mendengar kata tes aku selalu gemetar, tangan berkeringat, dan perut terasa mulas. Tapi mau bagaimana lagi? Aku banyak salah. Siswa saling bertukar pekerjaan untuk saling mengoreksi. Temanku menegur, salahku dalam menulis huruf besar di awal kalimat harus bagaimana. Hal yang belum pernah aku ketahui sebelumnya di sekolah sebelumnya di Bandung. Pak Intan memiliki kekurangan pada bentuk bibir dan matanya (seperti orang yang stroke). Tapi kesan pertama terhadap beliau kemudian berguguran dan berganti dengan kekaguman yang luar biasa. Sebagai siswa kelas VI setiap hari kami di beri berbagai macam tes. Sebelum masuk kelas, sebelum istirahat, dan sebelum pulang sekolah. Hafalan perkalian, pengetahuan umum IPA dan IPS (dahulu dirangkum dalam buku HPU beberapa jilid). Siapa yang bisa menjawab baru bisa meninggalkan kelas. Tiap siswa punya buku kecil mirip notes sebagai buku kuis. Hukumannya bisa bermacam-macam, tapi beliau lebih sering menggunakan karet gelang. Tiap satu kesalahan, satu jepretan di tangan. Di lain waktu kami juga melakukan cerdas cermat antar barisan bangku. Kami sering ditugaskan mendengar siaran berita di radio dan televisi, merangkumnya, dan hal itu pasti akan ditanyakan di kelas besok. Soal-soal dalam acara cerdas cermat, dan cepat tepat di TVRI juga harus diikuti jika tidak mau dijepret. Pak Intan selalu tahu perkembangan yang terbaru, entah itu nama menteri, PM atau Sekjen PBB. Kami juga diharuskan tahu negara-negara di seluruh dunia berikut bendera, lagu kebangsaan, mata uang, kepala negara, bahkan batas-batas negara di Utara, Selatan, Timur, dan Baratnya dalam pelajaran peta buta. Butir-butir Pancasila yang berjumlah 45, dan sejumlah pengetahuan lainnya yang wajib kami tahu. Tidak jarang aku sakit perut menuju sekolah karena membayangkan sejumlah tes yang akan aku hadapi. Tidak ada jalan untuk menghindari karet jepret saat itu kecuali belajar. Saat itu, aku ingat hampir satu kelas tidak ada yang bisa bermalas-malasan menghindari pertanyaan dari pak Intan, bagaimana tidak, menjawab pertanyaan adalah syarat untuk keluar atau masuk kelas. Detik-detik mendekati ujian, treatment beliau semakin gencar. Bahkan aku ingat, aku belajar hingga larut malam dan bila mengantuk merendamkan kaki di ember. Akhirnya ujian pun tiba. Saat itu mekanisme ujiannya di silang. Kami ujian di sekolah lain, di jaga oleh guru lain. Bagaimana hasil ujian kami? Percaya atau tidak, dengan situasi kelas yang dinamis, terjaga dalam setahun mampu menghasilkan 10 peringkat terbaik dengan selisih nilai yang sangat tipis.
Di sekolah itu tidak hanya pak Intan, Kepala Sekolahku saat itu memiliki kegemaran berkeliling sekolah. Ia akan masuk kelas yang gurunya berhalangan. Apa saja beliau akan ajarkan mulai dari matematika,IPA atau IPS. Aku ingat bahkan ada beberapa lagu perjuangan yang aku kenal dari beliau padahal ditulis di papan dengan not balok. Keren sekali buatku saat itu.
Kenangan lain yang berkesan di sekolah itu adalah saat ujian praktek. Tiap anak diwajibkan memasak sendiri, menentukan menu, mengolah, hingga menata sendiri. Kami rela membawa kompor dan segala peralatan dan bahan demi sebuah ujian. Aku ingat aku memasak sup saat itu. Meski resep dan semua dibantu mama, tetapi yang ujian adalah aku. Rasanya hal ini begitu berbeda di saat sekarang, di mana aku menemui di sekolah tempatku mengajar, di mana anak-anak sudah membawa makanan jadi dari rumah, dengan menu yang ditentukan guru. Sungguh aneh. Begitu banyak keanehan yang aku temui di sekolah jaman sekarang di bandingkan sekolah yang aku alami. Sekolah sekarang seperti kosong proses. Anak-anakku heran di rumah ada lukisan kristik yang dipigura indah sebagai hasil buatanku kelas IV. Padahal aku yang meski balik heran mengapa mereka tidak bisa apa-apa?
Pengalaman dengan guru-guru masa lampau yang berorientasi proses, aku temui semangatnya dalam Kurikulum 2013 yang secara eksplisit membantu guru membina siswa secara utuh dari aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Sejatinya, aku sungguh ingin berdiri di hadapan siswaku dengan pandangan yang sama ketika aku melihat guru-guruku dulu. Guru yang keren, guru yang ‘asli*’. Guru yang mampu mendorong seluruh siswa (seluruh siswa bukan sebagian) untuk maju. Mencintai pengetahuan melalui belajar, dan mencintai belajar sebagai sebuah kebiasaan seorang pelajar.
(*asli: istilah di Papua yang bermakna keren, mantap, luar biasa yang biasa diucapkan sebagai bahasa pergaulan anak-anak)
(Kado untuk teman-teman Diklat Guru Pengembang Matematika SMP/SMA Tahap 1, Jayapura, 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H