Budaya demokrasi seperti yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat desa di Bali pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, khususnya demokrasi empirik/ prosedural. Parameter dari budaya demokrasi tersebut meliputi: adanya rotasi kekuasaan, keterbukaan sistem pengerekrutan pimpinan tradisional, Â keteraturan pergantian kedudukan pimpinan, penghargaan atas hak-hak krama, toleransi dalam perbedaan pendapat, dan akuntabilitas pemegang kekuasaan. Lalu, tidakkah kita bisa menyerap sebagian nilai-nilai kearifan lokal tersebut untuk praktek demokrasi modern saat ini ?
Praktik kehidupan berdemokrasi yang ditunjukkan oleh para politisi dan pejabat publik masih identik dengan wilayah pragmatisme dan oportunisme. Hal ini terkait banyaknya kasus-kasus penyelewenangan kewenangan publik, direduksi menjadi kepentingan sendiri, Â atau partai politik, seperti tampak dalam berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikkan di negeri ini.
Cara berdemokrasi seperti itu dapat menimbulkan sejumlah persoalan yang kompleks. Oleh karenanya, sangat dibutuhkan  cara-cara  bijak untuk mengorganisasikan pemerintahan dan  pengalaman praktis mengelola kepentingan publik sesuai tempat, waktu dan kondisi masyarakat. Cara-cara bijak yang dimaksud biasanya ada dalam nilai-nilai kearifan lokal dalam budaya demokrasi masyarakat setempat, yang merupakan keseluruhan pengalaman sosial budaya yang membentuk pola ciri kehidupan demokrasi masyarakat. Sebagian parameter yang menandakan budaya demokrasi tetap hidup dan berkembang  dalam tradisi masyarakat  adalah adanya rotasi kekuasaan, keterbukaan sistem pengerekrutan pimpinan tradisional,  keteraturan pergantian kedudukan pimpinan, penghargaan atas hak-hak krama, toleransi dalam perbedaan pendapat, dan akuntabilitas pemegang kekuasaan.
Budaya demokrasi dengan beberapa parameternya tersebut juga masih tetap hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan krama desa pegunungan maupun dataran di Bali. Semuanya itu memiliki arti penting bagi demokratisasi dan desentralisasi pada aras lokal yang sedang dikembangkan saat ini, yang menuju pada arah perubahan  dari sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik.
Cermin Budaya Demokrasi
Â
Penerapan budaya demokrasi akan mempengaruhi bagaimana krama desa menjabarkan konsep  demokrasi sebagai basis kekuatan dan kemandiriannya dengan berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal masing-masing. Beberapa indikator mencerminkan bagaimana budaya demokrasi itu sudah ada dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat desa di Bali.
Pertama, krama desa dataran sudah lama mengenal sistem pemilihan secara langsung yang diterapkan setiap pergantian jabatan prajuru di desa dataran. Mereka biasanya dipilih dari, oleh dan untuk desa adat melalui paruman/ sangkepan krama yang secara khusus diadakan untuk itu. Pemilihan prajuru bisanya berjalan secara demokratis sesuai aturan yang tertuang dalam awig-awig desa. Sementara itu, krama desa pegunungan lebih mempercayakan kepada mereka yang lebih senior dan berpengalaman dalam memangku jabatan prajuru desa denga sistem bergilir. Budaya demokrasi ini menjadikan krama desa di Bali tidak canggung dalam sistem pemilihan umum langsung nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, maupun pemilihan umum langsung untuk memilih gubernur dan bupati.
Kedua, perhatian dan keterlibatan krama desa dalam ikut mengawasi penggunaan keuangan desa, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas lembaga desa adat dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa dataran sudah mulai terlihat. Ada hubungan simetris antara kesederhanaan prasyaratan prajuru desa dengan kualitas dan kemampuan manajerialnya dalam mengelola sumber-sumber dana desa adat. Namun, kesederhanaan persyaratan prajuru dan sistem seleksi yang dilakukan menyebabkan kesulitan dalam mengelola pemerintahan dan manajemen keuangan desa adat yang semakin kompleks. Apalagi, setelah era reformasi sumber-sumber dana kegiatan desa adat jauh lebih luas daripada desa dinas, dibandingkan dengan era sebelumnya.
Ketiga, budaya demokrasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat desa pegunungan dan dataran telah mewariskan segi-segi berpikir positif yang patut dikembangkan dalam penguatan kehidupan berdemokrasi para politisi dan pejabat publik lainnya. Beberapa diantaranya adalah:  tatas, tetes (kehati-hatian dalam bertindak); tat twam asi (toleransi tanpa menonjolkan perbedaan); paras paros (saling memberi dan menerima pendapat orang lain); salunglung sabayantaka (bersatu teguh bercerai runtuh); merakpak danyuh (perbedaan pendapat tidak menghilangkan persahabatan). Butir-butir budaya demokrasi tersebut merupakan warisan yang telah teruji dalam sejarah dan mempunyai kemampuan yang memadai untuk memecahkan masalah kehidupan masyarakat desa di Bali. Di samping itu, upaya pengembangannya  juga mengandung aspek-aspek pelestarian nilai-nilai kearifan lokal (local genius) yang sangat penting sebagai perjuangan untuk mewujudkan sistem demokrasi Indonesia modern yang berkepribadian komunitas lokal.
Landasan Multikultuturalisme