Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk sudah ada pengakuan dan pengagungan pada perbedaan dan kemajemukan. Sashanti Bhinnneka Tunggal Ika yang tertuang dalam dasar negara Pancasila jelas memberikan penghormatan pada kemajemukan itu serta toleransi terhadap perbedaan suku bangsa, budaya, ras, agama yang masing-masing memiliki hak hidup yang wajib dihormati.
Sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk, sudah sejak awal Indonesia memiliki persoalan legitimasi kultural. Kesamaan status di antara daerah-daerah yang terlibat di dalam revolusi fisik membawa konsekuensi pada terciptanya hubungan kolegial antar daerah-daerah tersebut dan bukan hubungan superior-subordinat. Oleh karena itu, tantangan bangsa Indonesia hingga kini adalah bagaimana mentransformasikan kesadaran baru kepada sebuah identitas nasional yang bisa diterima oleh semua komponen bangsa. Apabila proses pembentukan identitas, solidaritas sosial dan nasionalisme Indonesia terganggu, maka ketika itu pula semangat identitas dan loyalitas kebangsaan yang berbasiskan etnis yang disebut etno-nasionalisme akan mengemuka.
Ada dua hal penting yang harus mendapatkan perhatian serius dengan kemajemukan bangsa ini, yaitu: Pertama, berupaya untuk menghidupkan terus solidaritas emosional dalam bingkai kebangsaan. Ada rasa saling membutuhkan, menghargai dan mencintai sesama komponen bangsa, sehingga interaksi antar-etnis, suku, budaya dan agama dapat menumbuhkan rasa kebersamaan. Intimidasi dan penutupan tempat ibadah oleh sekelompok orang yang masih saja terjadi mengilustrasikan apa yang oleh Hefner disebut tekad keras orang-orang yang ingin meracuni hubungan antar-etnis dan antar-agama dengan tujuan untuk mementahkan reformasi politik. Dalam situasi demikian, negara mesti hadir dan memberikan perlindungan kepada setiap warganegara serta tidak cukup hanya dengan keprihatinan. Pemerintah tetap harus diarahkan sedemikian rupa sehingga berbagai kebijakan yang dijalankan tidak menimbulkan perasaan diskriminasi dan termarginalisasi bagi suatu kelompok.
Kedua, melaksanakan pembangunan bangsa dengan pengelolaan kehidupan bernegara yang bisa menumbuhkan solidaritas fungsional yaitu solidaritas yang didasarkan pada ikatan saling ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi, politik dan sosial budaya. Reformasi politik pasca Orde Baru jelas memberikan peluang besar karena keterbebasan dari sistem sentralisasi yang kurang kondusif bagi upaya untuk menumbuhkan solidaritas fungsional ini.
Demokrasi Konsosiasional
Kondisi bangsa yang majemuk itu juga menciptakan struktur sosialnya yang juga tidak kondusif bagi pelaksanaan demokrasi prosedural, sehingga diperlukan sistem demokrasi yang sesuai dengan kondisi tersebut. Karakter evolusi kehidupan demokrasi dalam kondisi masyarakat majemuk, yang sangat rentan terhadap konflik-konflik sosial, cenderung mengambil bentuk apa yang oleh Arend D. Lijphart disebut sebagai demokrasi konsosiasional.
Sistem demokrasi ini menurutnya sangat cocok dipraktikkan dalam masyarakat yang tingkat pragmentasi dan polarisasi sosialnya cukup tinggi, seperti halnya masyarakat Indonesia. Pemilahan sosial dalam masyarakat seperti ini biasanya bersifat kumulatif, bukan saling berbaur (cross-cutting). Akibatnya yang sering dirasakan adalah konflik tidak lagi bersifat sentripetal (memusat) akan tetapi bersifat sentrifugal (memencar) sehingga sulit untuk diselesaikan (unmanageable). Perlu pelibatan tokoh masyarakat yang mewakili kelompok sosial untuk meredam dan membatasi konflik pada kalangan “atas”.
Persyaratan demokrasi konsosiasional adalah adanya pengakuan terhadap bahaya-bahaya instabilitas yang merupakan hal yang inheren dalam masyarakat yang tingkat pragmentasi sosialnya tinggi; adanya komitmen untuk memelihara kelangsungan sistem yang ada; adanya kemampuan untuk mengangkat persoalan antar sub-kultur masing-masing pemilahan sosial pada tingkat yang lebih tinggi (elit), dan adanya kemampuan untuk menempa dan mencari penyelesaian guna memenuhi tuntutan dari masing-masing subkultur dengan ditemukannya aturan main yang jelas, serta pada tingkat kelembagaan yang tepat.
Beberapa persyaratan tersebut, yang lebih merupakan kiat-kiat Bhinneka Tunggal Ika” .
khusus pelaksanaan demokrasi dalam kemajemukan, sebetulnya telah diperkenalkan oleh para founding fathers melalui pelaksanaan demokrasi dengan sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Demokrasi yang lebih mengutamakan asas musyawarah/ mufakat, konsensus, serta sangat mengedepankan persamaan dan kebersamaan yang tersirat dalam sashanti “Penguatan Toleransi
Persamaan dan kebersamaan itu mensyaratkan adanya toleransi. Tanpa adanya toleransi, tiada ketenangan dan ketenteraman dalam hubungan antar kelompok. Meskipun sikap toleran merupakan pembawaan manusia, beberapa faktor internal didalam diri setiap orang, seperti egoisme, iri hati dan kecurigaan menekan berkembangnya sifat ini.