Masa remaja menurut WHO merupakan fase kehidupan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, dari usia 10 hingga 19 tahun. Masa ini merupakan tahap perkembangan manusia yang unik dan masa penting untuk meletakkan dasar-dasar kesehatan yang baik. Remaja mengalami pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial yang pesat. Hal ini memengaruhi cara mereka merasa, berpikir, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.
Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan melalui metoda coba-coba walaupun melalui banyak kesalahan.
Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan kekuatiran serta perasaan yang tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orangtuanya. Kesalahan yang diperbuat para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini karena mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas. Kesalahan-kesalahan yang menimbulkan kekesalan lingkungan inilah yang sering disebut sebagai kenakalan remaja (Y.M. Uttamo Thera).
Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja sering kali disebut juvenile deliquency ialah anak- anak muda yang disebabkan oleh pengabaian sosial, sehingga mereka melakukan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis yang memiliki arti anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda yang memiliki sifat khas pada masa remaja. Sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin "delinquere" yang berarti terabaikan; mengabaikan yang artinya dapat diperluas menjadi pelanggar aturan, pembuat ribut, menjadi jahat, dan lain-lain (Kartono, 2014:6-7)
Pada dasarnya kenakalan remaja merupakan suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat, atau dapat juga dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah suatu bentuk prilaku yang menyimpang. Dalam perspektif prilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan prilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur "normal" Â yang harus ditempuh oleh remaja.
Menurut bentuknya kenakalan remaja digolongkan  ke dalam tiga tingkatan, yaitu: Pertama, kenakalan biasa seperti suka pergi keluar rumah tanpa pamit, membolos sekolah, keluyuran,  mabuk-mabukan dan lain-lain; Kedua, kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan tindak kejahatan, seperti mengendarai motor tanpa SIM, mencuri, perkelahian antar pelajar dan sebagainya; dan Ketiga  kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (NARKOBA), hubungan seks diluar nikah, dan lain sebagainya.
Kenakalan remaja memang tidak bisa dilepaskan dari peranan orang tua selaku Guru Rupaka di rumah, Guru Pengajian di sekolah maupun Guru Wisesa (pemerintah) sebagai pelaksana kebijakan publik. Dalam kitab Kakawin Putra Sesana (Wirama Wirat Jagadhita, 1) disebutkan bahwa remaja yang tidak mendapatkan pendidikan yang baik semasa kanak-kanaknya, baik  karena keteledoran orang tua maupun karena terlalu dimanjakan dan tak pernah dinasihati akan menjadikannya  tidak berpengetahuan dan berperilaku menyimpang sehingga semua orang mencemohkan. Betapa pentingnya mengatur keinginan remaja yang berada dalam masa "panca roba" itu juga diingatkan dalam kitab ini (Wirama Sardula Wikridita, 1)// Banyak dosa akan menimpa diri si anak, bila semua keinginannya dituruti/ Banyak ilmu pengetahuan akan diperoleh bila mendapat didikan tata tertib sedini mungkin/ Terlambat mendapat didikan disiplin anak akan tersesat/ Bisa dikatakan  bila kasih kepada anak jangan membiarkan si anak berlaku semena-mena.
Dua Pendekatan
Berdasarkan kenyataan itu kita dapat melakukan beberapa upaya  untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja dengan mencoba menerapkan dua pendekatan yaitu: Pendekatan Personal dan Interpersonal.
Pertama, Pendekatan Personal. Pengembangan kesadaran dimulai dari diri remaja sendiri. Dalam ilmu pengetahuan modern, manusia dikelompokkan kedalam tiga kategori menurut pola tingkah laku, yaitu yang mementingkan lahiriah (extrovert), yang mementingkan diri sendiri (introvert) dan yang mempunyai kepribadian yang selaras (Satwika). Jadi, dalam tingkatan satu sampai sepuluh, extrovet dan introvert menduduki masing-masing posisi satu dan sepuluh. Kedua-duanya tidak diinginkan dan dapat dianggap "terlarang" dalam kehidupan yang sehat. Hal yang menarik adalah para rohaniawan kuno di India, sebagaimana disampaikan oleh Jagadeesan telah mengemukakan pola tingkah laku ini dan menamakannya dengan  Rajas (extrovert, sangat aktif, bernafsu, gairah, amarah), Tamas (introvert, lesu, bodoh, malas) dan Satwika (kepribadian yang seimbang). Pengembangan  kesadaran diri dengan  memelihara  ketenangan  jiwa dapat dikatakan suatu usaha menciptakan kepribadian yang Satwika, yakni pikiran seimbang dalam menjalani kehidupan di masa remaja. Tindakan yang mesti dilakukan adalah pengendalian pikiran, ketidakterikatan, sadar akan diri sendiri, melihat diri sendiri dari orang lain dengan seimbang serta tidak terlalu terikat pada orang, benda, situasi dan kondisi yang ada. Ketidakterikatan ini adalah salah satu teknik untuk mengembangkan kedamaian batin remaja. Ketidakterikatan ini bisa diperoleh dengan mengajarkan remaja bermeditasi untuk membantunya  mengkoordinasikan tubuh dan pikirannya menjadi lebih efektif. Dengan begitu ia akan lebih bisa menjaga keseimbangan mental dan mencapai ketenangan yang mendalam. Meditasi dapat membantu remaja membebaskan diri  dari ketidaktahuan, kemelekatan jasmani dan rohani, stres serta beban hidup lainnya, sehingga prilaku menyimpang remaja akan bisa dihindari.