Pemilihan Presiden 2024 sudah berhasil kita lewati dengan suasana relatif aman, tertib dan damai. Hal ini merupakan indikator penting bahwa proses demokrasi sedang berjalan di negeri ini. Studi yang dilakukan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) menyatakan bahwa tujuan demokratisasi yang berjalan saat ini adalah untuk mewujudkan demokrasi yang matang pada 2029. Maka dari itu, Pemilu 2024 merupakan agenda krusial dalam tahapan konsolidasi demokrasi karena menandakan satu langkah lagi menuju kematangan demokrasi.
Demokrasi Prosedural
Salah satu pemahaman tentang demokrasi adalah orientasi pada praktek pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan politik sehari-hari yang sering disebut demokrasi prosedural. Praktik  demokrasi dilihat sebagai kinerja politik yaitu bagaimana nilai-nilai ideal demokrasi dilaksanakan. Dalam demokrasi prosedural, Bingham Powell menyebut paling tidak ada lima nilai-nilai demokrasi: Pertama, legitimasi pemerintahan berdasarkan atas klaim pemerintahan tersebut mewakili keinginan rakyat. Artinya, klaim pemerintahan untuk patuh kepada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat. Kedua,  pengaturan yang mengorganisir bargaining untuk memperoleh legitimasi adalah pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang diatur, dan pemilih dapat memilih diantara beberapa alternatif calon. Dalam prakteknya, minimal terdapat dua partai politik yang berkompetisi sehingga pilihan tersebut benar-benar signifikan. Ketiga, sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki posisi tertentu dalam pemerintahan. Keempat, penduduk memilih secara rahasia dan tanpa ada paksaan. Kelima, masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar seperti: kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk meraih dukungan rakyat.
Dalam kaitan dengan pilkada yang akan dilaksanakan, pemahaman indikator nilai-nilai demokrasi tersebut adalah bahwa demokrasi berkaitan erat dengan akuntabilitas, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar bagi pemilih di daerah. Sebagian dari hak-hak tersebut meliputi: adanya kemungkinan rotasi kekuasaan, proses pencalonan yang bersifat terbuka, sistem pemilihannya teratur dan bebas, dan pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan serta keterbukaan yang kritis antar pasangan kandidat.
Sebagai konsekuensi pelaksanaan sistem demokrasi prosedural, maka dalam pilkada semestinya juga berlandaskan pada prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat pemilih (dan bukan elite parpol) yang berdaulat, oleh karenanya mereka berhak terlibat  dalam segala aktivitas politik, termasuk memilih kepala daerah/ walikota dan wakil-wakilnya.
Sesungguhnya hal penting terkait dengan pelaksanaan pilkada  sekarang ini adalah bagaimana berdemokrasi tak hanya sebatas memilih kepala daerah/ wali kota dan wakilnya lalu selesai. Idealnya, rakyat bisa berdemokrasi lebih lanjut dalam sebuah pemerintahan daerah baru yang memenuhi persyaratan sebagaimana ajaran Montesquieu dan Abraham Lincoln. Beberapa diantaranya adalah seberapa jauh unsur-unsur kebebasan, keadilan, representasi politik, artikulasi politik, dan mekanisme hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan di daerah yang bersifat "check and balance" tercermin dalam kehidupan sehari-hari---bukan hanya mencuat menjelang dan dalam rangka pelaksanaan pilkada saja.
Praktik demokrasi lewat penyelenggaraan pilkada secara langsung saat ini yang mencakup segala kegiatan mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemberian suara dan penghitungan suara sesungguhnya masih bersifat prosedural. Disatu sisi, patut diakui ia mengajarkan kebebasan dan kemandirian terutama menjelang dan saat pemilihan, tetapi setelah itu rakyat akan kembali 'diposisikan' sebagai 'anak buah' yang mengalami marjinalisasi dalam pelayanan publik, keadilan, representasi politik, artikulasi politik, dan partisipasi dalam pengawasan terhadap kinerja lembaga-lembaga pemerintahan di daerah.
Kemandirian Politik Rakyat
Praktik demokrasi prosedural seperti dipraktikkan dalam beberapa pilkada sebelumnya, sesungguhnya menghadapkan kita kepada bentuk keterlibatan rakyat yang masih sangat minimal sifatnya. Rakyat sebagai pemilih cenderung memberikan suaranya dalam pilkada hanya sebatas hak dan kewajiban yang lebih merupakan norma  yang sudah diinternalisasikan dan ditopang oleh tekanan sosial yang kuat.
Sebagian besar rakyat berduyun-duyun mendatangi  bilik suara, walau tidak memahami visi, misi, dan rencana strategis sang kandidat, tidak tertarik  dengan materi kampanye yang disodorkan, tidak begitu kenal calonnya dan tidak perduli dengan hasil pilkada nanti. Tetapi, hal itu dilakukan semata-mata menghindari kontrol sosial dan kecemasan yang muncul karena melanggar norma yang sudah mapan di masyarakat. Hanya sebagian kecil masyarakat pemilih yang melandaskan partisipasi dalam pilkada dengan keyakinan bahwa kepesertaannya dalam pilkada adalah metode untuk mengevaluasi, memilih kepala dan wakil kepala daerah dan untuk mempengaruhi arah kebijakan daerah. Kalau demikian halnya, maka partisipasi rakyat dalam pilkada tidak lebih hanya sebagai langkah awal untuk memperkuat posisi tawar rakyat di daerah terhadap pusat dengan tidak adanya lagi campur tangan pemerintah pusat dalam pilkada.
Kesadaran politik rakyat pemilih yang sudah mulai tumbuh, hendaknya tidak berhenti hanya sampai dalam tataran budaya politik parokial kaula dimana rakyat masih tidak terlalu yakin untuk bisa berkompetensi dan terlibat dalam proses politik. Â Kondisi ini perlu dikembangkan ke arah tumbuhnya budaya politik partisipan yang lebih bisa menopang kemandirian politik rakyat. Â Dalam tahapan itu, rakyat baik secara individu maupun kelompok akan lebih mampu berinteraksi dengan pemerintah daerah sebagai hasil pilkada secara lebih mandiri nantinya.