Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Imlek Putih

30 Januari 2014   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:18 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13910886171541998482

Hujan yang turun begitu dahsyatnya di akhir tahun Ular Air ini seperti mengetahui kesedihanku yang begitu mendalam. Sudah tiga kali tahun baru Imlek yang kulewati begitu putihnya, namun juga senantiasa aku syukuri dengan penuh sukacita walaupun tak seperti beberapa tahun yang lalu. Tahun demi pergantian tahun yang pernah begitu bermakna.

Bermakna dalam pergantian tahun dan berkumpul bersama orang tua dan juga saudara-saudara, saling mengucapkan selamat tahun baru dan juga berbagi doa dan rejeki (ang pao) kepada yang belum mencari rejeki. Pernah juga merasakan selama beberapa pergantian tahun rasa senang saat menerima Ang Pao dari Papa dan juga Mama. Imlek yang begitu lengkap walaupun pada masa Pemerintahan yang lalu-lalu hanya diperbolehkan merayakan di lingkup rumahan dan keluarga.

Aku terlahir dalam keluarga keturunan Tiong Hoa yang masih memegang teguh adat istiadat. Dalam banyak hal sehari-hari begitu banyak tata krama yang harus diteguhkan. Baik itu dalam berbicara, makan, panggilan dan sebutan yang masih menggunakan istilah-istilah dari leluhur.

Begitu kuat dan ketat. Seperti tak boleh berisik saat makan bersama keluarga dan tak boleh ada sebutir nasi pun yang tersisa. Bukan karena pelit, namun membawa makna bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan rejeki dalam bentuk makanan dan juga menghormati jasa para petani yang telah bersusah payah menanam padi. Agak ribet memang, namun karena sudah terbiasa sejak kecil, hal tersebut sudah membaur dalam aktivitas sehari-hari.

Akim, Koh Akim, atau juga Kokoh Akim, biasanya orang memanggilku. Panggilan Kokoh yang artinya Kakak atau Abang. Aku masih single, masih kuliah di semester ke-3. Aku anak pertama dari 3 bersaudara, 2 orang adikku semuanya perempuan. Aku adalah penerus keluarga dan penerus Marga Leluhur. Sebagai anak lelaki dan juga tertua, tanggung jawabku begitu berat apalagi setelah Papa dan Mama meninggalkan kami. Selain kuliah, ada toko peninggalan Almarhum Papa yang harus aku urus demi kehidupan kami bertiga. Bergantian kami mengurus dan mengelola toko tersebut.

***

Malam ini malam pergantian tahun dalam kalender Imlek. Pergantian tahun dari Tahun Ular Air ke Tahun Kuda Kayu. Dan Tahun apapun itu, yang pasti dan kenyataan bahwa malam ini adalah malam Imlek Putih kami yang ke-4. Ya Imlek Putih ke-4 dan masih akan ada Imlek Putih ke-5 dan juga terakhir ke-6 dalam keluargaku kini.

Kusebut sebagai Imlek Putih karena aktivitas apapun buat kami bertiga hingga 3 tahun ke depan masih tak patut mengenakan warna merah. Warna Merah yang begitu bermakna bagi yang merayakan Imlek sesuai legendanya yaitu seorang anak kecil yang mengenakan baju berwarna merah yang berhasil mengusir raksasa pemakan manusia dari pegunungan. Raksasa yang ternyata takut dengan warna merah. Dan sejak itu warna Merah begitu mewarnai pergantian tahun dalam kalender Imlek. Warna merah yang harus kami sisihkan sementara waktu ini hingga 3 tahun ke depan.

3 tahun lalu, kami bertiga serta Mama begitu berduka dengan kepergian Papa karena sakit yang dideritanya. Sebagai anak-anaknya kami begitu kehilangan. Kami bertiga menjadi begitu putih. Baju yang kami kenakan berwarna putih tanda kami berduka. Mengenakan gelang kain pada lengan kiri yang artinya orang tua laki-laki telah tiada, di teras rumah kami digantungkan lentera berwarna putih, sebagai anak laki-laki maka aku akan memegang tongkat dari batangan bambu yang pada bagian atasnya ditutup dengan kain putih, bambu yang memiliki ruas sebagai batas-batas bermata dan menandakan kasih sayang orang tua laki-laki dengan ruas bambu yang berbatas. Sedangkan kedua adikku yang perempuan akan mengenakan kerudung putih.

Kami berduka selama tiga tahun. Telah 3 Imlek kami lalui tanpa mengenakan apapun berwarna merah, termasuk dupa (hio) untuk persembahyangan pun tidak berwarna merah. Tidak bersenang-senang dalam bentuk yang bagaimanapun. Itulah sebagian gambaran adat istiadat yang masih kami pegang teguh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun