Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota Air

22 Januari 2014   02:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Tero, lengkapnya sih Watero. Sebuah nama sederhana namun aku sangat bangga karena itu nama yang diberikan ke dua orang tuaku. Usiaku sekarang sudah mencapai kepala empat, tidak muda lagi. Aku telah berkeluarga. Isteriku bernama Wateri. Loh kok mirip? itu pun bukannya kebetulan, sudah jodohnya, sudah ada yang mengatur. Malah jadi bagus dan seimbang serta indah. "Yang Berbahagia Watero dan Wateri" demikian yang tertulis dalam surat undangan berwarna merah muda bermotifkan ukiran bunga yang sederhana sekitar dua puluh tahun yang lalu.

Selama dua puluh tahun menikah, sudah dianugerahi dua orang puteri yang pastinya cantik-cantik. Mereka berdua cantik-cantik karena Wateri isteriku itu pun cantik. Kata siapa? ya kataku sendiri lah. Terlalu membanggakan diri sendiri? sebenarnya tidak, karena aku ini orangnya apa adanya saja. Puteri pertamaku namanya Waterna dan Puteri ke duaku namanya Waterni. Nama-nama sederhana seperti nama Bapak dan Ibunya.

Cerita ini adalah cerita tentang dua puluh tahunan lebih yang lalu hingga sekarang. Ceritanya dari ketika lulus sekolah menengah atas di sebuah desa kecil di Jawadipa. Mulai jelas kan jika aku ini asalnya dari desa. Seperti kebanyakan orang desa yang ingin sekali mengadu nasib dan bekerja di kota besar. Singkatnya ingin sukses. Aku pun demikian. Namanya saja sudah lulus SMA, masa sih mau turun ke ladang dan sawah. Itu pemikiranku dulu. Padahal sebenarnya yang namanya bekerja di ladang ataupun di sawah, jika dikerjakan dengan tekun pun bisa sukses. Yah namanya dulu itu gak terpikir begitu. Tahunya jika ingin sukses ya harus merantau ke kota besar.

Akhirnya dengan modal minta ongkos dari hasil panen ladang orang tuaku, berangkatlah aku menuju Ibukota. Perjalanan jauh dengan menaiki ojek motor hingga ke terminal bis antarkota. Dengan membawa tas gemblok di punggung yang isinya hanya beberapa potong pakaian untuk salinan serta ijazah SMA ku.

Perjalanan berjam-jam menuju Ibukota membuat pinggangku rasanya hampir patah dan kaki jadi banyak semutnya. Banyak semut bukan karena ada gulanya. Kesemutan. Kebetulan di dalam tasku ada karet gelang yang kemudian kuikatkan ke bagian yang kesemutan dan selang beberapa menit kesemutannya pun hilang. Terminal bis yang di sekelilingnya banyak bangunan bertingkat. Ketika menatap sekeliling terminal, barulah aku ini sadar bahwa aku ini hanya sendiri, tiada seorang pun yang aku kenal, tiada seorang pun kerabat atau pun saudara di Ibukota ini.

Tersadar pula tak tahu harus mulai melangkah ke mana. Kebingungan melanda sambil merogoh saku celana. Ada tiga puluh satu ribu rupiah. Jumlah yang lumayan untuk saat itu. Tapi tak tahu bisa bertahan berapa lama. Satu minggu hanya berdiam di terminal bis itu. Mandi dan cuci pakaian di wc umum terminal. Makan pun di warung sekitar terminal dan hanya berani makan sekali dalam satu hari.

Uang yang makin menipis hingga akhirnya bisa ngobrol dengan seorang sopir angkutan yang kebetulan berasal dari daerah yang sama. Curhat lah akhirnya dengannya. Dulu sih belum ada istilah curhat. Mengungkapkan isi hati. Yah akhirnya juga ikutlah dengan Mas Sopir itu, jadi kernet alias kondektur. Barulah kemudian melanglang Ibukota sebagai kernet angkutan umum. Lumayan buat bertahan hidup dan bisa beli koran serta kertas dan map nya buat kirim-kirim lamaran kerja serta bisa untuk bayar sewa kamar alias ngekos yang murah meriah dengan judul utamanya adalah bisa buat selonjoran badan. Entah berapa banyak lowongan pekerjaan dan juga lamaran yang aku kirimkan selama hampir satu tahun.

Sampai akhirnya ada sebuah pabrik di daerah kawasan industri di kota kecil sebelah barat Ibukota. Akhirnya dapat juga kerjaan formal. Sebagai buruh pabrik. Ada setitik cahaya harapan menuju kata sukses.

Semangat berapi-api tentunya. Setelah bicara dengan Mas Sopir yang jadi dewa penolongku ketika tak tentu arah tujuan di terminal bis. Dengan restu dan senyum khasnya, ia pun mendoakan agar bisa lebih baik nasibnya daripada dirinya. Aamiin kataku. Membungkukkan badan di hadapannya aku pun pamit menuju kota di bagian barat Ibukota.

***

Tekun bekerja dan semangat selalu aku hembuskan dalam hembusan napas pagi ketika berjalan kaki dari rumah deret kontrakan yang lokasinya tak jauh dari pabrik tempatku bekerja. Meskipun kadang tak sarapan dan kadang tanpa segelas kopi pun aku tetap semangat. Apalagi jika sudah berhadapan dan tatap-tatapan mata dengan seorang gadis yang line kerjaannya hadap-hadapan denganku.

Deg... deg... deg... jantung berdegup kencang ketika berpandangan dengannya. Ahh membuatku jadi salah tingkah saja tapi senang dan bahagia rasanya. Haduh... inikah cinta? Dia lah gadis yang meluluhkan hati dan jiwaku... hahay... dia lah Teri, lengkapnya Wateri. Dan singkat cerita walaupun pacarannya sembunyi-sembunyi karena takut jadi gosip di pabrik. Akhirnya kuputuskan untuk melamarnya. Wateri sendiri berasal dari Swarnadipa, tapi ke dua orangtuanya sebenarnya asli Jawadipa. Semakin nyambung jadinya.

Setelah menikah di desa dan kembali ke pekerjaan, maka di rumah deret kontrakannya pun tak lagi sendiri. Ada isteri yang cantik menemaniku. Indah dan bahagia, serta nikmat juga rasanya. Pengantin baru, walaupun rumah masih ngontrak, judulnya aku bahagia dan memiliki tanggung jawab membahagiakannya lahir bathin.

Hampir lima tahun berumah tangga, dan lima tahun pula tinggal di kontrakan. Hingga akhirnya atas inisiatif Wateri, kami sepakat untuk mengajukan kredit rumah. Kebetulan tak jauh dari lokasi pabrik mulai dibangun perumahan BTN alias Bayar Tapi Nyicil istilah kerennya waktu itu.

Sebenarnya menurut penuturan beberapa teman yang sama-sama bekerja di pabrik dan kebetulan adalah penduduk asli daerah situ telah menyarankan agar berpikir kembali, karena daerah yang kini di bangun perumahan itu tadinya adalah rawa-rawa yang kemudian diuruk dengan menggunakan tanah kerukan yang dibuat anak sungai.

Namun menurut Wateri isteriku, jika tidak segera, kapan lagi kami akan memiliki rumah sendiri. Tidak harus bayar kontrakan setiap bulan namun kontrakannya tak pernah jadi milik. Dan akhirnya aku mengikuti apa yang isteriku katakan.

***

Alangkah bersukacitanya ketika pihak bank mengabarkan bahwa pengajuan kredit rumah kami disetujui dan setelah tanda tangan pada perjanjian kredit, maka kunci rumah pun di serahkan. Rumah baru, rumah sendiri walaupun masih belum resmi milik karena harus bayar kreditan. Rumah yang nyaman walaupun hanya ada satu kamar dan belum ada pagarnya. Dicicil sedikit-sedikit pasti bisa kataku. Rajin menabung dan berhemat adalah kuncinya. Hidup sederhana. Rumah yang nyaman juga untuk mulai melepas alat kontrasepsi dan ikut anjuran pemerintah waktu itu yaitu "dua anak cukup". Keluarga kecil berencana yang bahagia. Alamaaakkk.

***

Sepuluh tahun berlalu setelah itu. Kami sudah memiliki dua orang puteri. Yang sulung Waterna dan yang bungsu Waterni. Perabotan rumah yang kami beli secara cicilan dan satu demi satu dapat dikatakan sudah memadai dan bagus. Pohon mangga yang kutanam di halaman depan pun sudah tiga kali berbuah. Buah yang besar dan manis. Semanis perjalanan hidupku. Hhmmm tinggal memikirkan membeli kendaraan untuk keluarga. Namun yang utama pendidikan puteri-puteri kami tentunya. Rajin menabung. Tanggung jawabku makin berat karena Wateri sudah full mengurus rumah tangga sejak puteri pertama kami lahir.

***

Sepuluh tahun pula daerah yang kami diami menjadi makin padat. Makin banyak perumahan berdiri. Dan makin kupandangi bahwa perumahan baru posisinya jadi lebih tinggi dari perumahan tempatku tinggal. Kreditan rumahku sendiri masih menyisakan angsuran sekitar 60 bulan lagi. Daerah yang sudah menjadi padat.

Hingga akhirnya kejadian yang sungguh tak pernah terpikirkan, tak pernah terduga, dan membuatku sangat stress ketika terjadi. Banjir besar melanda. Tak terduga hingga mengungsi pun hanya sempat membawa diri. Kejadian yang akhirnya membuatku tersadar dan bersyukur bahwa aku, isteri dan juga anak-anak masih selamat. Biarlah kuikhlaskan seluruh perabotan terendam air yang tingginya mencapai atap rumah. Hal yang kami pandangi dari ketinggian tempat kami mengungsi. Kuikhlaskan walaupun shock berat menggelayuti pikiranku. Ada rasa takut namun tak mungkin kusesali. Memang benar perkataan beberapa temanku sepuluh tahun yang lalu mengenai lokasi perumahan yang kami tempati.

Sudahlah... toh sudah terjadi. Ikhlas dan menerima. Memunguti perabotan yang masih bisa di pakai ketika banjir telah surut. Merapikan segala sesuatu di dalam rumah yang sempat terendam air. Memisahkan barang-barang yang sudah rusak seperti barang elektronik dan juga mesin cuci. Beruntung aku belum membeli kendaraan. Beberapa tetangga yang tak sempat menyelamatkan kendaraannya merasa sangat terpukul.

Ibarat berjuang kembali dari titik nol. Januari yang meluluhlantakkan apa yang telah kuperjuangkan selama sepuluh tahun.

SEMANGAT!!! demikian kulecut diriku walaupun depresi melanda.

Jebolnya tanggul, aliran air yang tertutup sampah dan juga beberapa komplek perumahan baru yang lebih tinggi membuat perumahan yang kami tinggali menjadi sangat rendah dan menjadi seperti ember tampungan air.

***

Pengalaman pahit telah mengajarkanku. Perabotan yang kemudian kubeli setelah banjir besar pun beralih ke bahan yang ringan dan tak terlalu besar. Merapikan semua dokumen ke dalam tempat yang mudah aku angkat sewaktu-waktu. Banjir yang telah menjadi rutinitas tahunan selama lima tahun setelah banjir besar pertama.

Ketika melihat iklan-iklan di televisi, mata dan otakku spontan tertuju begitu mendengar dan menyaksikan bahwa barang tersebut "anti dan tahan air". Ya... anti air adalah barang yang selalu menarik perhatianku.

Dari tahun ke tahun... setelah Desember dan memasuki Januari... Waspada adalah yang tertanam dalam otakku walaupun telah menjadi terbiasa. Dan bahkan terkadang jadi santai saja menghadapinya.

"Pak... bangun pak... air sudah mulai masuk" demikian isteriku membangunkan malam hari ketika banjir mulai melanda.

"Berapa Centimeter Bu?" demikian tanyaku sambil masih memejamkan mata.

"10 centimeter Pak!"

"Ooh santai saja dulu Bu, Tidur lagi sebentar ya hehehe"

Apalagi yang kupikirkan dengan rutinitas banjir yang akhirnya membuatku terbiasa? Kasur dari kasur angin yang bisa mengambang bak perahu karet. Perabotan dari plastik. Elektronik hanya TV 14 inchi yang kugantung di dinding yang lumayan tinggi. Santai dulu lah.

Hal yang menyenangkannya... sama tetangga jadi lebih dekat karena senasib... sama-sama kebanjiran. Kemudian juga setahun sekali tempat ini bisa jadi tempat wisata gratis bagi yang ingin foto-foto dengan latar belakang banjir. Ngenes banget ya hahaha sudah kebanjiran... banyak wartawan datang, banyak tamu datang, dan banyak yang foto-foto... pake handphone yang canggih-canggih. Salasatu fungsi handphone ketika musim hujan di tempat ini ya untuk mengabadikan foto banjir hehehe.

"Pak kita pindah saja pak!" Ajakan isteri dan juga puteri-puteriku.

"Ohh Bapak punya tabungan, tapi bukan untuk bapak beli rumah lagi, kalaupun bapak beli rumah ya untuk kalian berdua Waterna dan Waterni. Bukan buat Bapak! Bapak biarkanlah di sini. Bapak berharap kalian berdua bisa kuliah dan bisa menemukan sistem rumah dan kota yang tahan air hehehe" Celoteh santaiku yang membuat Waterna dan Waterni tersenyum.

Itulah harapanku... tempat ini sudah tak mungkin aku timbun jadi lebih tinggi untuk menghadapi banjir. Bukan cuma aku yang mengalami. Berapa banyak kepala keluarga yang ada di tempat ini? ratusan dan aku tidak sendiri menghadapi ini.

Kini waktunya berjuang untuk anak-anak kami. Harapanku... ke dua puteriku bisa mewujudkan impianku... membangun kota yang tahan air... atau kota di atas air. Dan juga rumah yang tahan bencana.

***

"Pak... coba lihat pak... tetangga beli mobil baru Pak! Kapan Pak kita punya mobil biar bisa jalan-jalan Pak?"

"Buat apa beli mobil Bu? Wong Bapak mau beli jetski atau motorboat atau kapal pesiar kok!!!"

~000OOO000~

~Just My Imagination~

Ilustrasi "post-apocalyptic-water-world" dari dornob.com

~Hsu~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun