Mohon tunggu...
Rully Styono
Rully Styono Mohon Tunggu... -

‎Penulis adalah pegiat isu politik ekonomi, sosial budaya dan agama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Menyikapi Keberagaman

31 Desember 2014   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:05 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bismillaahirrahmaanirrahiim...

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS al-Hujarat [49]:13).

Keragaman adalah sunnatullah yang tidak bisa kita ingkari. Ayat dalam Surat al-Hujarat di atas meneguhkan hal itu. Kita diciptakan Allah bukan dalam keseragaman, tapi dalam keragaman dan perbedaan, baik berbeda dalam hal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, agama, keyakinan, dan lain sebagainya. Dari perbedaan itu, Allah memerintahkan agar kita saling mengenal dan mengasihi, bukan untuk saling memusuhi.

Sejarah dan perjalanan hidup Nabi Muhammad telah menegaskan semangat kerukunan dan kasih sayang, seturut dengan ayat al-Qur’an di atas. Sebagaimana diketahui, sebelum Islam datang, di Arab telah berkembang bermacam agama dan kepercayaan yang berbeda, seperti Yahudi, Kristen, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Dan ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, di sana juga sudah ada beragam agama yang dianut, dimana yang terbesar adalah Yahudi dan Kristen. Bahkan, di Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya menemukan keragaman agama, tetapi juga keragaman suku dan adat istiadat.

Sebagaimana ayat tersebut di atas, sikap Nabi Muhammad dalam menghadapi keragaman suku dan agama di Madinah bukan dengan memusuhi, tetapi dengan saling menghargai, menghormati, bahkan saling melindungi. Hal ini dapat kita saksikan dari dokumen penting yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah. Dari dokumen ini diketahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, bukan hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada mereka yang berbeda agama dan keyakinan.

Salah satu paragraf dalam Piagam Madinah itu adalah sebagai berikut: “Jika seorang pendeta atau pejalan kaki berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka Aku (Nabi Muhammad) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”.

Hal yang sama juga dilakukan oleh khalifah kedua Umar ibn Khattab ketika Islam menguasai Yerusalem, dimana sebagian besar penduduknya beragama non-Islam. Beliau, sebagai penguasa, membuat sebuah undang-undang yang salah satu isinya adalah sebagai berikut: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dan dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Dari petikan sejarah di atas dapat dikatakan bahwa doktrin Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin bukanlah slogan yang tanpa bukti. Praktek kehidupan Nabi dan sahabat telah membuktikan itu. Nabi datang dan diutus Allah dengan membawa kabar gembira bagi seluruh alam, bukan hanya kepada golongan tertentu saja.

Sebagai pembawa agama yang rahmatan lil’alamin, Nabi Muhammad adalah orang yang paling beradab dan penuh kasih sayang. Beliau, sebagaimana Hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibn ‘Umar, adalah pribadi yang tidak kasar dan tidak pernah melampaui batas, tidak kaku, tidak bengis, tidak suka bersuara keras di pasar, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memaafkan dan mengampuni.

Sabda Nabi, “ Inna khiyaarakum ahsanukum akhlaaqan,” yang artinya: Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah mereka yang berakhlak paling baik. Dan sabda Nabi Muhammad yang lain, “Almuslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi,” yang berarti: Muslim sejati ialah orang yang menjaga lisan dan tangannya sehingga orang-orang muslim lain selamat dari daripadanya.

Karena itu, dalam rangka memperjuangkan prinsip yang semulia apapun, hendaklah kita tetap mengedepankan sikap tidak berlebih-lebihan, sikap kearifan dan kesantunan seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak justru mengikuti cara-cara munkar yang seharusnya kita cegah. Semangat membela Islam dan amar makruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan cara-cara yang Islami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun