Tepat satu tahun yang lalu, terjadi sebuah tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia, bahkan menjadi terbesar kedua di dunia (berdasarkan jumlah korban jiwa).
Sebuah super big match bertajuk Derbi Jatim yang semula amat ditunggu para pencinta sepak bola tanah air malam itu, justru menjadi momen yang kelam dan memprihatinkan.
Alih-alih dikenal dunia dengan prestasi sepak bolanya, peristiwa pada malam itu membuat negara ini dikenal dunia karena ulah sebagian elemen hingga mengakibatkan ratusan nyawa melayang.
Flashback
Takluknya pasukan Singo Edan (Arema FC) di kandang sendiri atas rival utamanya Bajul Ijo (Persebaya Surabaya) dengan skor 2-3, memicu amarah Aremania (sebutan suporter Arema), sehingga memancing banyak dari mereka untuk turun ke lapangan (pitch invasion).
Situasi menjadi semakin buruk saat aparat keamanan menyemprotkan gas air mata secara brutal, yang padahal penanganan kericuhan suporter menggunakan gas tersebut jelas dilarang oleh federasi sepak bola dunia, FIFA.
"No firearms or crowd control gas shall be carried or used." (Dokumen resmi "FIFA Stadium Safety and Security Regulations", pasal 19 huruf B, via img.fifa.com)Â
Akibat ketidakkondusifan suporter dan penanganan yang salah oleh pihak aparat itu, para suporter pun panik dan saling berlarian untuk menyelamatkan diri dari gas air mata dan pukulan, serta banyak pula yang langsung menuju pintu keluar stadion dengan berdesakan dan berimpitan hingga "mampet".
Pada akhirnya, kejadian malam itu banyak memakan korban luka ringan hingga berat, juga korban meninggal mencapai 135 orang. (Kompas.com)
Tamparan Berat bagi Dunia Sepak Bola Tanah AirÂ
Peristiwa kelam itu tentu menjadi tamparan berat bagi banyak elemen di dunia sepak bola maupun masyarakat tanah air.