Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China sejak 5 tahun lalu sedang memasuki tahap baru. Jika dikaitkan dengan tahapan manajemen, maka proses perencanaan dan pengenalan sudah dilewati, sehingga sekarang BRI sedang memasuki tahap lebih maju.Â
Xi Jinping, Presiden China, di bulan Agustus 2018, seperti dilaporkan kantor berita Xinhua dalam peringatan ulang tahun ke-5 BRI di Beijing, China, menyebutkan perlu upaya mendorong kemajuan dalam kegiatan BRI, terutama memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat dan terus memperluas pasar sambil menjaga keseimbangan perdagangan.Â
Ucapan ini diharapkan menjadi kerangka bagaimana China bersikap dalam rumah BRI. Setidaknya menjadi awal bagi upaya untuk menuju keseimbangan perdagangan bagi 71 negara yang terlibat didalamnya, termasuk Indonesia. Tidak saja untuk kepentingan China, tetapi juga untuk kepentingan mitranya.Â
BRI tidak semata-mata hanya dilihat sebagai investasi dalam infrastruktur dan sumber daya alam. Tetapi juga meluas pada pendidikan, iptek, dan kebudayaan. BRI juga menjadi peluang bagi pengembangan hard infrastructure dan soft infrastructure, yang bisa diturunkan menjadi layanan fasilitasi bea cukai dan perdagangan, jasa keuangan dan konsultasi.Â
Dalam konteks ucapan Presiden Xi Jinping tersebut dan pemahaman diatas, maka mengaitkan BRI dengan rancangan kebijakan perdagangan yang sebentar lagi akan menjadi sebuah kebijakan adalah keniscayaan.Â
Oktober tahun ini, di DPR RI, sedang berlangsung ratifikasi amandemen ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Hal ini sangat erat kaitannya dengan kerangka BRI. Mengapa dilakukan amandemen? Karena ada beberapa pokok kebijakan yang ditambah.Â
ACFTA sejatinya merupakan kesepakatan antara negara-negara ASEAN dan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang, peningkatan akses pasar barang-jasa, ketentuan-ketentuan investasi, dan peningkatan aspek kerjasama ekonomi diantara negara-negara terkait.
Awal pembentukan ACFTA ditandatangani tahun 2002 dan Indonesia telah meratifikasi agreement tersebut melalui Keputusan Presiden No. 48 Tahun 2004. Dengan beberapa pertimbangan, disepakati perlunya amandemen yang ditandatangani tahun 2015 dan berlaku efektif tahun 2016. Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi amandemen perjanjian ACFTA.
Amandemen pengaturan meliputi perdagangan barang, perdagangan jasa, dan perdagangan investasi. Pokok perubahan pengaturan perdagangan barang mengenai ketentuan asal barang, prosedur pabean, serta fasilitasi perdagangan. Perubahan perdagangan jasa mengatur penambahan jumlah komitmen jasa dalam ratifikasi amandemen ACFTA. Indonesia dan China masing-masing menambah 5 sub-sektor jasa, sehingga total komitmen sektor jasa Indonesia sebanyak 33 dan China 84 sub-sektor. Indonesia menambah sub-sektor, seperti beverage serving services with and without entertaintment, portfolio management, asset management limited only to investment fund management dan terakhir, lending of all types. Tambahan 5 sub-sektor jasa dari China, meliputi medical and dental services, engineering services, travel agency and tour operator services, nature and landscape protection services, dan securities.Â