Akhir Mei 2018, pemerintah China mengisyaratkan akan mengakhiri kebijakan two child policy yang implementasinya dimulai sejak 1 Januari 2016. Kebijakan tersebut merupakan pengganti kebijakan one child policy yang telah diterapkan China selama hampir empat dekade sejak pemerintahan Deng Xiaoping 1979.Â
Kebijakan tersebut belum genap 3 tahun berjalan, namun realitanya implementasi kebijakan tersebut tidak sesuai dengan ekpektasi pemerintah China untuk meningkatkan angka kelahiran yang selama beberapa tahun terakhir telah mengalami penurunan.
Data statistik menunjukkan penerapan kebijakan tersebut dirasa tidak berhasil karena angka kelahiran di China tahun 2017 mengalami penurunan 3.5 persen dibanding tahun 2016. Padahal penerapan kebijakan tersebut diharapkan akan menambah angka kelahiran sebesar 3 juta jiwa, dari target sebelumnya yang mencapai 20 juta kelahiran tiap tahunnya.
Kebijakan pembatasan jumlah anak terbukti hanya berhasil mengontrol laju pertumbuhan penduduk di China namun menghadirkan banyak masalah sosial baru yang pelik antara lain berkurangnya angkatan kerja, ketidakseimbangan gender, dan meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia.
Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, angka kelahiran yang rendah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan angkatan kerja dan usia produktif di China. Dimana pasar tenaga kerja China satu dekade terakhir mengalami gejolak akibat ketidakseimbangan permintaan dan penawaran.
Beberapa penilitian menunjukkan bahwa China pada 2010 telah mengalami lewis turning point, dimana terjadi shortage labor di dalam pasar tenaga kerja China dibarengi dengan kenaikan upah tenaga kerja tidak terampil secara konstan. Dalam penelitiannya, IMF memprediksikan fenomena serupa akan kembali terjadi di China pada 2020 dan 2025.
Tenaga kerja merupakan faktor produksi utama yang harus tersedia untuk menjaga stabilitas industri manufaktur China yang menjadi sumber terbesar pemasukan GDP China. Faktor produksi merupakan syarat wajib yang harus tersedia untuk menjaga produktivitas industri agar tetap berlangsung.
Jika dilihat dari dependency ratio yang menghitung jumlah penduduk yang tidak termasuk ke dalam angkatan kerja atau dibawah usia 15 tahun dan di atas usia 65 tahun, maka penduduk China yang bukan angkatan kerja adalah sebesar 35.9 persen.
Tingkat rasio ini terbilang wajar karena belum mencapai 50 persen. Akan tetapi bila kebijakan pembatasan jumlah anak tetap dilanjutkan, rasio tersebut tentunya akan semakin meningkat dikarenakan jumlah bertambahnnya penduduk lanjut usia tidak sebanding dengan angka kelahiran yang ada. Secara otomatis akan menambah rasio penduduk yang bukan angkatan kerja.
Masalah sosial lain yang timbul akibat pembatasan anak adalah meningkatnya beban anak tunggal untuk menghidupi keluarga lanjut usia mereka. Generasi yang lahir pada era 1980an hingga 2000an adalah generasi anak tunggal yang tidak memiliki saudara kandung. Â Apabila mereka menikah dengan sesama anak tunggal dari generasinya tentunya mereka berdua akan menanggung beban hidup orang tua dari kedua belah pihak.
Selain itu masalah ketidakseimbangan gender merupakan masalah sosial lain yang sedang dihadapi China saat ini. Jumlah populasi laki-laki lebih besar dibanding perempuan, 106 laki-laki berbanding 100 perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki di China tidak mudah mendapatkan pasangan untuk menikah.