Meneladani Sikap Rasulullah Terhadap Jenazah Non-MuslimÂ
Oleh: Alfania Dewi
Dalam kehidupan masyarakat kita, tentunya keberagaman  dan perbedaan sudah menjadi hal yang lumrah, mengingat Indonesia merupakan negara yang plural dan sarat dengan heterogenitas. Kita dapat mengambil sample dari lingkungan tempat tinggal kita saja misalnya, pasti terdapat berbagai macam suku, ras, bahkan agama. Yang mana, tak jarang perbedaan-perbedaan tersebut mendatangkan berbagai polemik atau dilema di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebut saja, dalam hal mengucap salam kepada umat non-muslim, menepati undangan dan jamuan pesta mereka, bertakziyah atas kematian dan lain sebagainya, apakah hal-hal terrsebut diperbolehkan atau tidak? adakah dalil-dalil yang melarangnya?.
Mengenai permasalahan-permasalahan tersebut, umat muslim tentunya sering mengalami kebimbangan. Dalam hal bertakziyah dan  mensholati jenazah non muslim  saja, terdapat  dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, jika kita sebagai ummat muslim tidak bertakziyah dan mensholatinya, maka akan menimbulkan spekulasi bahwa ummat muslim merupakan ummat yang intoleran. Namun, ketika kita  bertakziyah atau bahkan sampai mengikuti ritual pemakamannya, betapa hal itu sangat sia-sia. Hal ini dikarenakan tidak adanya kewajiban  atas kita selaku ummat Islam untuk mensholati jenazah penganut agama lain. Dan bahkan hal itu bisa dianggap sebagai tindakan yang menyalahi hukum syara'. Untuk menjawab permasalah ini, kita dapat merujuk kepada hadits Rasulullah SAW :
"Abu Salamah bin Yahya bin Khalaf dan Humaid bin Mas'adah menceritakan kepada kami, mereka berkata, "Bisyr bin Mufadhdhal memberitahukan kepada kami, Yunus bin Ubaid memberitahukan kepada kami dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Muhallab, dari Imran bin Husain, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda kepada kami, "Sesungguhnya saudara kalian, Najasyi telah meninggal dunia, maka berdiri dan shalatlah untuknya." Imran berkata, "Maka kami berdiri dan berbaris seperti berbaris untuk shalat jenazah. Lalu kami shalat untuknya seperti shalat jenazah." Shahih: Ibnu Majah (1535) dan Shahih Muslim
Namun, yang perlu kita garis bawahi dari hadits diatas ialah, bahwa pernah dijelaskan dalam suatu riwayat,  bahwa Raja Najasyi sebenarnya telah mengimani Allah SWT sebagai  satu-satunya Tuhan  yang Esa. Beliau juga mengimani kerasulan Nabi Muhammad SAW dalam hati, lisan serta perbuatannya. Sehingga, tidaklah mengherankan ketika beliau wafat, Rasulullah SAW menshalatkan jenazahnya.
Hal ini, berbeda kasusnya dengan paman Rasulullah, yaitu Abu Thalib. Beliau memang senantiasa mendukung setiap langkah Rasulullah dalam mendakwahkan agama Allah. Namun, sangat disayangkan, sampai akhir hayatnya, Abu Thalib diklaim belum mendapatkan hidayah dari Allah untuk mengimani Allah SWT. Sehingga, ketika beliau wafat Rasulullah, tidak  menshalati  jenazah  Abu Thalib ketika beliau wafat, walaupun beliau merupakan  kemenakan Abu Thalib sendiri.Â
Mengingat, tidak adanya kewajiban bagi kita  untuk mensholati jenazah  ummat dari kalangan non muslim sekalipun itu adalah kerabat bahkan keluarga kita sendiri, bahkan terdapat dalill yang melarangnya. Sebagaimana  disebutkan dalam sebuah hadits:
"Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail. -dan yang lainnya berkata- Telah menceritakan kepadaku Al Laits Telah menceritakan kepadaku Uqail dari Ibnu Syihab dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin 'Abdullah dari Ibnu 'Abbas dari 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu Tatkala Abdullah bin Ubai bin Salul meninggal dunia, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diundang untuk menshalatinya. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri untuk melaksanakan Shalat, aku meloncat ke arah beliau, lalu aku berkata, Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kenapa engkau menshalati Ibnu Ubay, padahal ia telah mengatakan di hari ini-itu begini dan begitu?! Aku hitung-hitung kejelekannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tersenyum seraya bersabda: Tundalah -perkataanmu- dariku wahai Umar! setelah aku mengulang menyebut-nyebut kejelekannya, beliau bersabda: Aku telah diberikan pilihan, aku memilih. Andaikata aku tahu kalau aku menambahnya lebih dari tujuh puluh ia akan diampuni, niscaya aku menambahnya!.Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat atasnya, kemudian beliau pergi dan tidak berada di tempat itu kecuali hanya sejenak, hingga turun dua ayat dari surah Bara'ah, (Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo'akan) di kuburnya. mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (Qs. At-Taubah: 84). Setelah itu aku heran atas keberanianku terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika itu. Dan hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengatahui. (HR. BUKHARI)
Didalam hadits diatas, terdapat gambaran kisah Rasulullah SAW yang berkenan menshalati  jenazah seorang tokoh yang begitu masyhur dengan kisah kemunafikan dan pengkhianatannya yang begitu luar biasa terhadap rasulullah dan kaum muslimin madinah. Siapakah dia?, dialah Abdullah bin Ubay bin Salul. Oknum yang gemar menyebar fitnah diantara kaum muslimin, seorang provokator handal, dan pelaku penyebar berita palsu yang ditujukan kepada Ummul Mukminin, Aisyah ra, yang dituduh melakukan khalwat dengan Shafwan bin Al-Mu'athal al-Sulami.
Namun, didalam hadits tersebut, diriwayatkan bahwa ketika Abdullah bin Ubay meninggal,  rasulullah Saw tetap mensholati jenazah tersebut. Memang, secara zahir Abdullah bin Ubay selalu menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang muslim, namun, ia selalu ambil bagian bahkan dapat dipastikan selalu punya andil cukup besar atas setiap permasalahan yang terjadi di barisan kaum muslimin, Hal ini tentu menjadi sebab  yang menimbulkan  perdebatan dan pertentangan di kalangan sahabat, tatkala Rasulullah mensholati jenazahnya ketika ia meninggal.
 Status Abdullah bin Ubay yang muslim, dan kemunafikannya yang begitu dahsyat, seolah seperti dua sisi mata uang yang menyatu, namun amat berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini membuat kaum muslimin bertanya-tanya, apakah Abdullah bin Ubay dapat disebut sebagai seorang yang mati dalam keadaan kafir?, masihkah  bisa ia disebut sebagai seorang muslim, ataukah ia tergolong orang yang fasik?, lantas bolehkah menshalati jenazahnya?. Segala pertanyaan ini kemudian terjawab dalam lanjutan hadits, bahwasanya Allah SWT berfirman yang berisi tentang larangan untuk menshalatkan jenazah orang-orang seperti Abdullah bin Ubay oleh orang muslim.
 Dari kasus diatas, dapat kita ambil kesimpulan, yakni kalau mensholati jenazah seorang munafik, yang walaupun secara zahir ia mengaku muslim saja dilarang, maka sudah jelas, perlakuan ini akan sama dengan orang-orang non muslim. Hal ini sebagaimana firman Allah "(Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo'akan) di kuburnya)" . Jika kita memahami lebih lanjut, ayat diatas secara eksplisit telah menjawab segala dilema mengenai bagaimana seharusnya tindakan kita terhadap jenazah non muslim. Sebagai ummat muslim, kita dilarang untuk mensholati jenazah  non muslim serta mendoakannya. Jalan tengah yang mungkin bisa kita ambil adalah cukup dengan ikut bertakziyah dan turut serta mengurus jenazah non muslim yang meninggal tersebut.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Rasulullah ketika Abu Thalib, pamannya meninngal dunia. Rasul bertindak dengan begitu bijak, yakni dengan mengurusi jenazah paman tercinta dengan penuh kehati-hatian dan kelembutan, sebagai bentuk ta'dzim seorang kemenakan terhadap pamannya. Namun, meski begitu rasulullah tetap memisahkan antara urusan akidah (hablumminallah) dan lainnya (hablumminannas). Sedekat apapun hubungan emosional dan kekerabatan rasul dengan Abu Thalib, rasul tetap tahu batasan perlakuan terhadap jenazah tersebut, yang di sisi lain  merupakan orang yang begitu di cintainya dan pada sisi lalinnya, adalah sebagai orang yang berbeda akidah dengan beliau. Sehingga, rarsulullah mengambil tindakan sekedar sampai batas mengurusi jenazah pamannya, tanpa mensholatinya. Perlu diketahui bahwa, sikap dan keputusan rasul terhadap pamannya adalah keputusan yang  paling tepat, karena tidak menyalahi hukum syara', pun begitu juga tidak menciderai hubungan tali persaudaraan dengan sang paman, dan tentunya tak mengurangi rasa hormat rasul terhadap pamannya. Ini merupakan jalan tengah yang implikasinya akan dapat diterima oleh semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H