Mohon tunggu...
Siti Sakinah
Siti Sakinah Mohon Tunggu... Lainnya - Vocational Student of IPB University | Undergraduate Communication Digital and Media

Penulis amatir dengan hasrat besar dalam dunia tulis-menulis. I hope my writing can be useful and have a positive impact. Thanks for visiting and reading my post. Sweet regards, Sakinah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Food Estate, Kejayaan atau Kejahatan?

2 Februari 2024   13:12 Diperbarui: 2 Februari 2024   13:38 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penanam Jagung di Gunung Mas, Kalteng. Source: Greenpeace di Twitter.

Masyarakat di seluruh dunia yang bergantung pada pangan untuk bertahan hidup terus menghadapi berbagai masalah ketahanan pangan. Setiap tahun, pertumbuhan populasi global mendorong pemerintah di seluruh dunia untuk mengembangkan program yang dapat mendukung kedaulatan pangan. Program food estate (lumbung pangan) adalah salah satu tindakan pemerintah untuk mencegah krisis pangan.

Solusi Krisis Pangan

Food estate -- program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan mengembangkan pertanian, perkebunan, dan peternakan secara terintegrasi di suatu kawasan. Program tersebut merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020 -- 2024 yang digagas oleh Presiden Republik Indonesia -- Ir. H. Joko Widodo.

Cabai, padi, singkong, jagung, kacang tanah, dan kentang adalah beberapa komoditas yang termasuk dalam kebijakan lahan pangan pada program food estate. Program food estate digunakan di banyak wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua.

Terealisasikannya program food estate, bertujuan untuk meningkatkan kedaulatan pangan nasional, sehingga dapat mengantisipasi krisis pangan. Selain itu, food estate dapat memodernisasi pertanian nasional dengan menggunakan teknologi tepat guna, serta food estate dapat memanfaatkan lahan-lahan marginal yang sebelumnya tidak produktif, seperti lahan gambut, hutan, dan Areal Pengunaan Lain (APL).

Realita Program

Mengesampingkan manfaat yang menjadi tujuan food estate, program yang menghabiskan anggaran kurang lebih 9 juta/Ha di lahan gambut lama, 30 juta/Ha di lahan baru dengan total anggaran mencapai Rp2,55 triliun (Kementerian Pertanian, 2020) ini menjadi salah satu bentuk kontra yang dihadapi. Dengan kata lain, program ini cukup banyak menuai kontroversi saat pelaksanaannya.

Kontroversi yang hadir, tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh adanya kegagalan program food estate pada beberapa wilayah di Indonesia.

Daerah Terdampak

Ada bukti kuat bahwa program food estate merugikan dan merupakan kejahatan lingkungan. Ada bukti kegagalan di berbagai wilayah di Indonesia, salah satunya adalah proyek di Kalimantan Tengah. Pengembangan food estate, yang dimulai pada pertengahan tahun 2020 di sekitar 30.000 ha lahan sawah yang sudah ada, terdiri dari 10.000 ha di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 ha di Kabupaten Kapuas, dianggap tidak berhasil dan telah terbengkalai. Bahkan, evaluasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terhadap lahan pangan yang terbengkalai di Kalimantan Tengah menambah daftar panjang kegagalan rencana lumbung pangan pemerintah Jokowi. 

Food estate di Kalimantan Tengah dianggap gagal, pasalnya terdapat banyak hal yang dilanggar dalam pelaksanaannya, diantaranya terkait kelayakan tanah dan agroklimat. Gunung Mas, daerah Kalimantan Tengah yang menjadi tempat proyek food estate, memiliki karakteristik lahan berpasir di bawahnya, sekitar 30 - 40 cm. Hal tersebut tentu melanggar kelayakan tanah dan agroklimat, ucap Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University - Dwi Andreas Santosa dari Kumparan.

Salah satu kandidat wakil presiden Mahfud MD juga berbicara tentang proyek food estate yang dilaksanakan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dia menyatakan bahwa lahan Gunung Mas adalah pasir dan tidak dapat ditanami apa pun. Pada awalnya, dimaksudkan untuk menanam singkong, tetapi gagal. Akibatnya, jagung ditanam dalam polybag, yang memerlukan anggaran pemerintah sebesar Rp54 miliar.

Penanam Jagung di Gunung Mas, Kalteng. Source: Greenpeace di Twitter.
Penanam Jagung di Gunung Mas, Kalteng. Source: Greenpeace di Twitter.

Tidak untuk Sustainability

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun