Situs Tersembunyi di Lereng Gunung Muria Langit berawan. Matahari yang tiba-tiba agak ramah ternyata terselimuti awan hujan yang mengumpulkan kekuatan. Gumpal-gumpalan awan terbentuk cepat, sementara roda mobil melaju mengantar kami menyisir jalan itu untuk ketiga kalinya. Di lereng Gunung Muria itu, udara memang lebih bersahabat. Angin lembah yang membawa uap air waduk Seloromo dan Gunung Rowo melunakkan udara yang panas oleh teriknya matahari. Kami hanya beranjak beberapa kilometer jauhnya dari kabupaten Pati. Jalan aspal yang cukup baik ini dapat mengantar wisatawan yang tak seberapa menuju beberapa lokasi waduk dan pemandian di sekitar lereng gunung. Kanan-kiri jalan ramai oleh joglo-joglo penduduk, sebagian besar berdiri kokoh dengan konstruksi tradisional yang menawan. Setelah beberapa sambungan telepon yang menyesatkan, pertanyaan yang membingungkan, petunjuk jalan yang nyaris-terbaca, dan beberapa putaran mobil, sebuah papan nama sekolah membawa kami ke tempat yang benar. Tulisan di papan petunjuk itu berbunyi: SDN Majapahit; di bawahnya terbaca samar "Rondole, Desa Muktiharjo - Kecamatan Margorejo". Di sisi lain jalan itu, sebuah papan petunjuk berbunyi "Rondole", tertulis tangan dengan huruf kapital seukuran panjang telunjuk. Di atasnya tertulis lebih kecil "Pintu Majapahit". Sebuah anak panah tergambar menunjuk ke jalan kecil yang cukup untuk mobil. Itu saja, titik. Mobil masuk belum terlalu jauh, ketika jalan mulai mengecil dan akhirnya berakhir dengan cabang jalan setapak dan sebuah jalan lain yang pas untuk satu arah kendaraan kecil. Dua buah pohon besar menaungi struktur sederhana yang melindungi struktur sederhana lain: "Pintu Majapahit"; begitu penduduk menyebutnya. Pendapa kecil dibangun untuk melindungi struktur kayu itu dari hujan; joglo sederhana - dengan lantai keramik dan atap genteng, lengkap dengan cahaya alami yang tersedia gratis oleh matahari. Pohon besar yang sebuah tumbuh di depan pendapa ini, di bawahnya tertumpuk atap sirap yang menimbulkan tanda tanya. Pagar BRC mengelilingi lingkungan ini, dan sebuah papan nama di samping pintu masuk adalah satu-satunya penanda bahwa situs itu pernah terjamah pemerintah daerah. Dok. pribadi Gerbang yang Lari 240km dari Istananya
Di sisi lain kedua daun pintu, terlihat palang pintu yang masih lengkap terpasang. Tidak seperti bagian luarnya, sisi dalam pintu itu tidak dilengkapi ukiran penghias. Sisi dalam tersebut dibiarkan polos tanpa hiasan, hanya menampakkan serat-serat kayu jati yang sudah berusia. Warna coklat tuanya berbalur keputihan, antara sogan dengan warna kopi. Satu sisi pintu itu menampakkan, betapa batang kayu yang dibelah untuk membuat daun pintu adalah sebatang jati yang berukuran besar, tanpa sambungan. Kuncen dan Dongeng Turun-temurun Budi Santoso, adalah nama seorang pria setengah baya yang menjaga situs ini. Ia adalah seorang juru kunci yang setiap hari masih mempersembahkan sajen di depan gerbang keputren itu. Sore itu, dengan kaos hitam dan celana pendek ia datang menghampiri kami yang berjalan ke lingkungan situs. Rambutnya yang sudah tidak banyak lagi berwarna kelabu; kulitnya sawo matang terbakar matahari, dan gigi-giginya menunjukkan ia seorang pengisap kretek kelas kakap. Ia mengajak kami melihat-lihat gerbang dan menunjukkan perbaikan-perbaikan akibat rayap pada gebyok itu. Sepuluh menit kemudian, kami sudah duduk berhadapan dengannya mendengarkan cerita di balik gerbang yang terpisah dari induknya itu. Alkisah pada beberapa masa setelah 1479 (tahun keruntuhan Majapahit), Islam mulai masuk dalam kehidupan orang Jawa. Tersebutlah Sunan Muria; seorang penyebar agama Islam di daerah itu turun gunung  untuk menghadiri sarasehan di padepokan Sunan Ngerang. Pada saat itu, Kabupaten Pati dan daerah sekitarnya hingga Gembong masih berupa hutan belantara. Sekitar pukul 3 sore, beliau tiba di kawasan desa Muktiharjo. Ia berhenti di tepi sungai yang sedang banjir, mencari cara untuk menyeberang karena tidak ada perahu. Di sebelah barat daerah itu, seorang wanita sedang menggembala kerbau. Wanita itu bernama Dewi Sapsari; putri Ki Gede Sebo Menggolo yang memiliki padepokan di sekitar sungai tersebut. Sunan Muria kemudian mengadakan semacam sayembara. Barangsiapa yang sudi dan dapat menyeberangkan beliau melalui sungai itu: bila pria akan diangkat saudara, dan bila wanita akan dijadikan istri. Mendengar adanya sayembara tersebut, Dewi Sapsari kemudian membawa kerbaunya ke sungai tersebut dan menyeberangkan Sunan Muria. Sunan Muria menepati janjinya. Setelah melakukan apa yang perlu, ia menikahi Dewi Sapsari secara resmi. Beberapa bulan kemudian, Sunan Muria kembali ke padepokannya di Gunung Muria. Dewi Sapsari kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Sesuai perkenalannya dengan Sunan Muria, anak tersebut dinamai Raden Bambang Kebo Nyabrang. Dewi Sapsari meninggal setelah melahirkan, sehingga anak tersebutpun kemudian diasuh kakeknya. Ketika beranjak dewasa, bertanyalah Bambang Kebo Nyabrang kepada kakeknya tentang siapa ayahnya. Tahulah ia dari Ki Gede Sebo Menggolo bahwa ia adalah putera Sunan Muria. Raden Bambang Kebo Nyabrang berangkat ke Gunung Muria dan menemui ayahnya, namun Sunan Muria tidak mudah mengakui puteranya. Ia mengajukan syarat bahwa Bambang Kebo Nyabrang harus memboyong gerbang keputren Majapahit yang bernama Bajang Ratu, dari bekas kerajaan Majapahit (sekarang Trowulan) ke Gunung Muria . Tugas itu harus selesai dikerjakan dalam waktu satu hari. Bambang Kebo Nyabrang pun berangkat ke bekas kerajaan Majapahit. Sementara itu, di padepokan Sunan Ngerang tersebutlah seorang pemuda bernama Raden Rangga. Raden Rangga ingin menikahi putri Sunan Ngerang yang bernama Rara Pujiwati (Jawa: Rara Pujiwat). Rara Pujiwati juga mengajukan syarat; bahwa untuk dapat menikahinya, Raden Rangga harus membawa pintu gerbang Bajang Ratu ke padepokan Sunan Ngerang dalam waktu satu hari. Berangkatlah Raden Rangga untuk memboyong syarat tersebut. Ketika Raden Rangga sampai di bekas kerajaan Majapahit, ia mendapati gerbang tersebut telah hilang. Bajang Ratu telah dibawa Bambang Kebo Nyabrang ke arah barat menuju Gunung Muria. Pergilah ia mengejar Bambang Kebo Nyabrang. Sesampainya di sebelah barat kota Pati, di dalam hutan ia menemukan sebatang pohon kenanga yang bentuknya seperti kurungan (sangkar). Berkatalah ia membuat petilasan, bahwa nanti tempat itu akan menjadi dukuh (desa) yang dinamakan Sekar Kurung (sekar: bunga; kurung: sangkar). Daerah itu sekarang adalah daerah Puri di kota Pati. Raden Rangga kemudian meneruskan perjalanan. Lebih jauh ke arah barat, ia menemukan Bambang Kebo Nyabrang yang tengah beristirahat. Iapun meminta pintu gerbang untuk dibawa ke padepokan Sunan Ngerang. Permintaan ini ditolak oleh Bambang Kebo Nyabrang. Bertarunglah mereka adu kesaktian di tempat itu. Di tengah pertarungan itu, sebuah penyangga Bajang Ratu (jawa: ganjel lawang) terlepas dari pintunya. Karena kejadian ini, Raden Bambang Kebo Nyabrang membuat petilasan, di mana sekarang daerah tersebut menjadi dukuh yang disebut Njelawang (Ganjel Lawang). Mereka bertarung sambil terus bergerak ke barat. Sekitar tengah hari suara beduk terdengar. Sudah menjadi kebiasaan dan keharusan, untuk menghentikan segala kegiatan bila mendengar suara beduk; maka merekapun berhenti bertarung untuk melakukan sembahyang. Daerah tempat ini terjadi sekarang menjadi Dukuh Nduren (samu barang kudu leren). Pertarungan kedua pemuda ini berlanjut hingga 35 hari, tanpa ada yang menang ataupun kalah. Sunan Muria yang mengetahui hal ini kemudian turun gunung. Dari Desa Gembong, Sunan Muria melihat pertarungan kedua pemuda. Karena jelasnya pertarungan itu dapat dilihat dari tempat tersebut, tempat perhentian ini menjadi petilasan Sunan Muria, dan dikenal dengan nama Trowelo (dari bahasa Jawa cetho-welo-welo, atau towelo); di mana sampai sekarang merupakan tempat di mana banyak terjadi kecelakaan. Turunlah Sunan Muria hingga ke tempat pertarungan. Ia memaksa kedua pemuda berhenti dengan berkata, "Wis pada lerena sak kloron pada bandole". Kedua pemuda itu berhenti bertarung. Sunan Muriapun membuat petilasan, bahwa nanti tempat tersebut akan menjadi dukuh "Rondole"; yang berasal dari "sak kloron pada bandole". Selepas itu, Raden Bambang Kebo Nyabrang lalu diakui sebagai putera oleh Sunan Muria, karena ia telah berhasil membawa Bajang Ratu hingga ke tempat itu. Sunan Muria lalu menugasi anaknya menjaga Bajang Ratu, "lan pintu iki jaganen...". Mendengar kata-kata tersebut, Raden Bambang Kebo Nyabrang moksa dan menghilang secara raga. Raden Rangga yang tidak berhasil memboyong Bajang Ratu, dibekali sepotong katek (balok sokong/ skoor) oleh Sunan Muria untuk menuntaskan tugasnya. Ketika Raden Rangga menemui Rara Pujiwat, pinangannya tetap ditolak karena Raden Rangga tidak membawa Bajang Ratu; marahlah ia. Raden Rangga mengejar Rara Pujiwat hingga tiba di sebuah bengawan (sungai) di sebelah barat Juwana sekarang. Karena cintanya yang tidak terbalas, Raden Rangga yang marah lupa diri dan melemparkan apa yang ada di tangannya, yang tidak lain adalah katek Bajang Ratu ke arah Rara Pujiwat. Katek dan Rara Pujiwat pun menghilang. Sampai sekarang di Juwana setiap tanggal 15 di bulan Saban (kalender Jawa) diadakan petilasan "Sabanan" untuk mengingat Rara Pujiwat. Demikianlah mengapa kemudian pintu gerbang keputren tersebut dipertahankan di tempat itu, hingga tahun 1989 diakui sebagai situs cagar budaya oleh pemerintah setempat. Bajang Ratu berada di desa Rondole, Muktiharjo, sebelah barat Kabupaten Pati; dan kurang lebih 240km dari istana peninggalan Majapahit di Trowulan. Situs ini menjadi jejak sejarah dan cerita turun-menurun yang tidak diketahui orang banyak. Budi Santoso yang menjadi kuncen situs ini adalah anak buyut lurah setempat bernama Surawijaya, yang juga merupakan keturunan dari padepokan di Gunung Muria. Situs tersembunyi ini merupakan salah satu kekayaan budaya Nusantara yang merekam jejak Majapahit dan sejarah setempat. Pintu gerbang keputren Bajang Ratu, sebuah struktur sederhana yang menjadi saksi sejarah dan menyimpan cerita-cerita besar di balik salah satu sisi keraton kerajaan adidaya di Nusantara. Terbayang bagaimana  struktur cantik itu mungkin pernah dilewati Sri Ratu Gayatri, atau Tribuana Tunggadewi dan adiknya Dyah Wiyat. Cerita perjalanannya hingga ke dusun Rondole di barat kota Pati ini juga menunjukkan; betapa para perintis penyebaran agama Islam di Nusantara adalah para ulama mumpuni yang sangat setia pada budaya asal dan bijaksana. Lawang Keputren Bajang Ratu: salah satu wajah Nusantara yang hidup dan penuh cerita. Striwicesa,  Lembang-Feb 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H