Terimakasih memang seharusnya saya ucapkan kepada saudara Rinaldi. Berkat membaca tulisan-tulisannya, saya akhirnya menyadari atas keyakinan yang saya anut dan saya yakini. Berkat tulisan beserta diskusi-diskusi yang dilakukan oleh saudara Rinaldi dengan Kompasianer yang lain, saya menjadi semakin mantap dengan keyakinan yang saya anut.
Saya jadi membaca lagi beberapa literatur keislaman dan beberapa sejarah Islam, prinsip hidup dan jalan hidup yang saya anut dan saya YAKINI. Saya menjadi semakin yakin dengan prinsip hidup ini.
Atas nama logika
Adalah sebuah prinsip hidup yang saya lihat menjadi acuan utama saudara Rinaldi beserta beberapa Kompasianer yang lain. Saya melihat itulah akar mula dari diskusi-diskusi yang mungkin tak ada ujungnya.
Logika yang disodorkan memang terlihat manis, namun adalah suatu racun terhadap keyakinan dan prinsip hidup yang saya yakini. Seolah-olah segala sesuatu yang bisa dilogika adalah sebuah hal yang benar dan harus diyakini, sementara aspek yang diluar nalar adalah sesuatu yang salah.
Saya sadar, titik tolak yang berbeda adalah sebuah jurang pembatas antara saya dan saudara Rinaldi. Dia menyandarkan segalanya kepada logika (dari beberapa diskusi dan tulisannya) sementara saya menyandarkan keyakinan yang saya anut dan logika yang diberikan Alloh.
Titik tolak yang berbeda inilah yang menimbulkan hasil dan pemahaman yang berbeda. Saya sadar, ada beberapa hal yang memang di luar jangkauan akal pikiran saya. Namun saya juga menyadari bahwa itulah kelemahan manusia. Maka saya menyandarkan diri kepada sesuatu yang saya YAKINI, yaitu kepada Islam. Prinsip hidup dan jalan hidup saya.
Saya jadi sadar dengan titik tolak para sahabat dalam mempertahankan keyakinannya. Misalnya ketika Abu Bakar ditanya tentang perjalanan Isra' Mi'raj. Isra' Mi'raj adalah sebuah hal yang jauh diluar nalar dan logika, namun itu adalah sebuah hal yang harus saya yakini adanya. Bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan ke Masjidil Aqsho kemudian dilanjutkan ke langit ke-7.
Mungkin nanti saudara Rinaldi akan tertawa mendengar kepercayaan dan keyakinan saya ini. “Kok kuno”, mungkin itulah ucapan yang terlontar dalam hati pemegang paham materialisme. Tapi itulah, titik tolak saya adalah Islam dan akal sehat. Seperti Bilal yang secara ga logis bertahan terhadap penderitaan karena disiksa majikannya atas dasar ia memeluk agama Islam. Mungkin apabila di logika seharusnya cukup ia menyatakan keluar dari Islam maka akan terbebaslah segala penderitaan yang ia alami, namun ia tetap bertahan dengan ucapannya yang menyejarah: “Ahad.. Ahad.. Ahad”... Tuhan kami adalah satu, Islam agama kami.
Keyakinan yang ragu-ragu.
Titik tolak logika tanpa didasari oleh suatu kepastian akhirnya akan melahirkan sesuatu yang “nanggung”. Sesuatu yang tak pasti akhirnya tumbuh di dalam pemikiran.