sumber gambar
Aku masih ingat hari itu dengan sangat jelas. Awan mendung menggantung rendah di langit, seperti menyembunyikan sesuatu yang kelam dan penuh rahasia. Hujan turun dengan deras, menghapus jejak-jejak kaki di jalan setapak menuju rumah kami. Aku baru saja pulang dari sekolah ketika melihatnya untuk pertama kali, berdiri di teras rumah kami yang sempit dengan tatapan kosong menatap hujan. Namanya Dimas, kakak tiriku.
Dimas pindah ke rumah kami setelah pernikahan kedua ibuku. Ayahnya, seorang pria pendiam yang jarang tersenyum, adalah kebalikan dari Dimas yang selalu ceria dan penuh semangat. Mereka pindah dari kota yang jauh, meninggalkan masa lalu yang tak pernah benar-benar terungkap kepada kami.
"Aku Rani," kataku saat pertama kali memperkenalkan diri.
"Dan aku Dimas," balasnya dengan senyum tipis, tapi matanya---mata yang begitu gelap dan dalam---mengatakan sesuatu yang lain. Ada misteri di sana, sesuatu yang membuatku terpesona sekaligus takut.
Hari-hari pertama kami bersama terasa canggung. Ibu dan ayah tiriku sering bekerja di luar kota, meninggalkan kami berdua di rumah kecil yang sepi. Meskipun begitu, Dimas dan aku selalu berusaha saling mengenal lebih baik. Kami berbicara tentang sekolah, teman-teman, dan hobi. Tetapi di antara tawa dan canda itu, ada sesuatu yang tak pernah bisa kuabaikan---getaran aneh di antara kami yang semakin hari semakin kuat.
***
"Rani, kamu suka hujan?" tanya Dimas suatu sore ketika kami duduk di teras.
Aku menoleh padanya, mendapati ia menatap langit yang kelabu. "Entahlah. Kadang-kadang. Kenapa?"
Dia tersenyum kecil. "Hujan mengingatkanku pada tempat yang jauh. Tempat di mana aku dulu merasa bahagia."
Aku terdiam. Ada keheningan panjang sebelum aku berani bertanya, "Kenapa kamu meninggalkan tempat itu?"