Para mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia kembali turun ke jalan ketika mengetahui DPR bermanuver merevisi undang-undang tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan seorang calon kepala daerah wajib berumur minimal 30 tahun sejak ia mendaftar dalam kontestasi pilkada.
Putusan MK juga mengubah ketentuan ambang batas bagi partai politik mengusung calon kepala daerah. MK memutuskan partai politik nonparlemen bisa mengusung calon kepala daerah asalkan suara sah partai atau gabungan partai memenuhi norma yang diputuskan MK berdasar jumlah penduduk di daerah penyelenggara pilkada.
Putusan MK itu mengabulkan sebagian gugatan Partai Buruh dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang diajukan beberapa waktu lalu. DPR dan pemerintah justru bermanuver memilih putusan Mahkamah Agung (MA) tentang gugatan atas peraturan KPU beberapa waktu sebelumnya sebagai rujukan pelaksanaan pilkada 2024.
Menurut mereka, putusan MA dan putusan MK sama-sama produk hukum yang bersifat pilihan. Kengototan DPR dan pemerintah memicu kemarahan mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil. Para akademikus, selebritas, buruh, dan aneka komponen masyarakat sipil lainnya bersama mahasiswa berunjuk rasa di jalanan.
DPR dan pemerintah mereka tuding membegal konstitusi dengan mengabaikan putusan MK. DPR dan pemerintah memancing krisis konstitusi. Massa turun ke jalan dan memblokade jalan masuk Gedung DPR. Massa di daerah juga mendatangi gedung DPRD. Putusan MK wajib dilaksanakan tanpa syarat.
Putusan MK punya derajat hukum yang lebih tinggi lantaran menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Putusan MA adalah memeriksa peraturan KPU yang derajat hukumnya lebih rendah. Putusan MK tentang syarat pengusungan atau pengajuan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah dalam konteks berdemokrasi memang progresif.
Putusan MK itu memberi ruang bagi suara rakyat saat memilih partai politik yang tidak mendapat kursi di parlemen tidak sepenuhnya hilang karena masih ada peluang diaktualisasikan dalam kontestasi pilkada.
Undang-undang seharusnya langsung menyesuaikan diri dengan putusan MK tanpa harus melalui revisi dulu. Revisi undang-undang yang dilaksanakan kemudian harus menampung putusan MK sepenuhnya, dengan tafsir sesuai putusan MK, bukan dengan tafsir baru yang mengada-ada.
Demonstrasi massa elemen masyarakat sipil menunjukkan publik negeri ini bukan masyarakat yang bodoh seperti anggapan DPR dan pemerintah. DPR dan pemerintah harus menghentikan manuver yang hanya akan memicu ketidakstabilan nasional.
Laksanakan putusan MK. Penuhi tuntutan masyarakat sipil yang memahami putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan MK ini memungkinkan muncul banyak kandidat kepala daerah dalam pilkada. Di situlah makna demokrasi yang sesungguhnya, publik punya banyak pilihan untuk menentukan pemimpin mereka lima tahun ke depan. DPR dan pemerintah jangan memancing lagi krisis konstitusi.